Anda menuntut, “Pak, kita nggak work from home juga?” Entah untuk ke berapa kalinya pertanyaan tersebut terlontar. Ditanyakan pada HRD yang sibuk manage para karyawan. Ujung-ujungnya ditanyakan juga kepada para bos yang masih belum terdengar membicarakan soal work from home, padahal banyak yang sudah melakukannya.
Kami, para HRD dan juga atasan Anda, sudah memikirkannya jutaan kali sebelum Anda menanyakannya. Sama seperti Anda, kami juga khawatir. Bahkan mungkin kekhawatiran kami jauh lebih besar. Maaf saja, tapi dibanding Anda, kami memikirkan nasib lebih banyak orang.
“Tim produksi jelas nggak bisa work from home, Pak,” lapor seorang HRD.
Oh, jelas! Bagaimana mungkin kami menyuruh para karyawan dalam tim produksi untuk membawa semua alat dan bahan, lalu melakukan produksi di rumah? Anda bukan sedang mengerjakan art and craft seperti anak-anak sekolah.
“Kalau tetap masuk, kasihan mereka.”
“Tapi kalau nggak masuk juga nggak mungkin, kan? Produksi harus tetap jalan!”
“Oh, tapi kami kan bukan tim produksi, Pak. Kami bisa bekerja secara online,” begitu kata Anda, berusaha agar work from home bisa dilakukan secepat mungkin, tanpa peduli bagaimana tim produksi nantinya.
“Lalu apakah sudah dipastikan kalian siap?”
“Yah…. mau nggak mau harus sudah siap, Pak,” jawab Anda.
Itu benar. Namun bukankah seharusnya Anda berjuang memikirkan dan mempersiapkannya juga bersama-sama dengan kami?
“Permisi, Pak,” ujar seseorang, menyela diskusi kami yang berat. “Bagaimana dengan karyawan yang tidak punya laptop atau komputer di rumah? Laptop kantor kita cuma ada enam yang bisa dipinjamkan. Lalu, tidak semua karyawan punya fasilitas internet.”
Mendengarnya saja sudah bikin kepala cenat-cenut. Tidak mungkin kan, kami ini membelikan laptop untuk masing-masing karyawan? Mustahil juga untuk menyediakan wifi di rumah kalian semua!
“Selain itu,” bisik seorang rekan, “Sebetulnya beberapa orang masih gaptek, Pak. Jangankan bekerja online, untuk log in aplikasi kantor saja belum bisa. Malah ada yang tidak ingat password-nya.”
Sekarang kepala kami serasa mau meledak.
Para karyawan terkasih, Anda tak harus repot-repot memikirkan bagaimana sistem kantor kita menerapkan work from home. Tapi tolonglah bekerja sama dengan kami. Minimal, up grade-lah skill dirimu. Belajarlah!
Work from home bukan berarti pekerjaan lantas jadi lebih mudah. Ini hal baru bagi kami. Kami harus belajar secepat kilat agar bisa mengatur supaya kita tetap produktif bekerja.
“Baik. Mulai hari Senin kita akan work from home,” begitu kata kami akhirnya, setelah berjam-jam rapat dan mempersiapkan segala sesuatunya agar Anda bisa duduk tenang di rumah, work from home.