“Alasan mertua sangat tidak masuk akal. Untuk mengawasi PRT di rumah kami.”
“Apa kami bisa berhubungan intim jika di kamar ada CCTV?” katanya sambil sesenggukan.
“Toh yang lihat CCTV hanya kalian dan saya saja,” ujar mertuanya tanpa perasaan.
“You nggak bicarakan hal ini dengan Marko?” tanya saya.
“Saya tidak mau mengadu domba suami dan mertua,” begitu jawaban mama muda itu.
Itulah pengakuan mama muda itu yang membuat saya salut sekaligus kasihan.
“Kalau begitu, yang you bisa lakukan ya bertahan, bersabar sekaligus berdoa agar mama mertuamu berubah,” ujar saya mencoba menguatkannya karena saya tidak tahu nasihat apa yang terbaik untuknya.
Mama muda itu semakin kencang tangisnya. Dia mencoba menahannya dengan membungkam mulutnya sendiri dengan tisu yang sudah kuyup.
“Jika tidak bisa bicara dengan Marko, mengapa tidak ngomong sama papa mertua?”
“Sekian lama berkumpul, saya tahu papa mertua pun tidak berani dengan mama. Mama mertua saya super dominan. Papa lebih banyak mengalah. Itu sebabnya saya menemui Bapak untuk dua hal. Mendengar curhatan saya dan minta dikuatkan,” ujarnya mengakhiri percakapan kami malam itu.
Mutiara berharga di telaga kehidupan
Hikmah apa yang bisa kita ambil dari curahatan ibu muda ini? Pertama, don’t judge a book by its cover. Cilakanya, hal itulah yang seringkali menjadi patokan utama atau paling tidak pertimbangan dominan dalam mencari pasangan hidup. Terbukti bahwa KEMASAN seindah Marko ternyata beda jauh dengan ISINYA. Saya setuju dengan ungkapan klise ini: “Sebelum menikah, buka mata selebar-lebarnya. Setelah menikah, tutup mata serapat-rapatnya.”
Kedua, amati dengan cermat—tanpa menjadi seorang detektif—bagaimana relasi calon pasangan Anda dengan orang lain, khususnya keluarganya? Ingat, temannya akan menjadi teman Anda, keluarganya akan menjadi keluarga Anda. Bagaimana juga sikapnya terhadap orang-orang yang berada ‘di bawahnya’ baik secara ekonomi, pendidikan maupun lapisan sosial? Orang yang gampang merendahkan orang lain suatu kali akan merendahkan Anda juga.