Di penghujung tahun 2019 ini, saya mengenang tiga pribadi guru luar biasa yang meninggalkan warisan kehidupan. Ketiganya meninggalkan jejak kaki yang tak mungkin terhapus dari kehidupan saya. Pertemuan dan perpisahan dengan para guru yang saya hormati ini merupakan bagian dari pembentukan ilahi yang saya yakini menjadikan diri ini ada seperti hari ini.

Om Andreas Gunawan

Saya kenal Beliau sejak kecil. Keluarga Beliau adalah sahabat dekat keluarga kami; Ibunya sahabat Oma saya, Beliau dan istri adalah sahabat Papa dan Mama, anak-anak Beliau adalah sahabat kami. Beliau hampir tak pernah absen ketika kami dalam kesusahan. Saat Papa meninggal dunia, Beliau hadir mendampingi kami yang seperti hilang arah. Saat adik saya mengalami kecelakaan, Beliau menemani di ruang tunggu hingga operasi selesai kala hari hampir berganti. Beliau sudah seperti keluarga sendiri.

Bukan hanya seperti paman sendiri, Beliau salah satu orang pertama yang mengajar saya bermain piano! Saya ingat betul suara motor Beliau memasuki halaman rumah seminggu sekali, sesuai jadwal les piano. Beliau punya cara mengajar yang asyik: setiap kali saya mulai bosan dengan repertoar klasik, Beliau menuliskan aransemen sederhana lagu-lagu gereja, lagu “Happy Birthday”, dan banyak lagu anak-anak untuk saya mainkan. Belajar piano menjadi menyenangkan!

Setiap kali jari-jari ini melangkah di atas tuts piano, saya tak mungkin melupakan jasa Om Andre, guru piano yang mendorong saya terus maju. Tapi bukan itu warisan terbesarnya bagi saya. Pelajaran paling berharga justru ia berikan ketika saya sudah kembali dari studi piano di luar negeri, ketika saya menghadapi badai besar di pekerjaan.

Di saat semua rekan menghakimi tanpa mau memahami, Beliau hadir memberi diri untuk mendampingi. Beliau mendengar segala keluh kesah saya, menyediakan waktu untuk sekadar menampung tangis, dan bahkan memasang badan memastikan saya tetap berada di jalan yang benar tanpa kehilangan idealisme. Beliau terus mendorong saya untuk mengajar, mengembangkan ilmu walau memang waktu dan kesempatan belum bertemu di kala itu.

Pertemuan saya yang terakhir dengan Beliau terjadi seusai ibadah Minggu di gereja. Waktu itu perut saya sudah besar membuncit, hanya menghitung hari menjelang persalinan anak kedua. Beliau membuka pembicaraan, menanyakan kondisi kehamilan, juga memastikan rencana pindah domisili ke kota tetangga. Bukan sekadar kepo, Beliau dengan tulus memastikan saya tak sungkan meminta bantuan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here