Pelajaran pertama – Kasih dalam penderitaan
Melalui video call, kami berkomunikasi dengan keluarga di rumah.
“Nonik, gimana tadi nangis ga waktu dipasang infus?” tanya Meme dengan wajah khawatir.
“Ngga kok Me, tadi sempat mau nangis sih tapi Nonik bisa tahan,” sahut Nonik sambil sedikit tersenyum.
Mereka berdua pun kemudian larut dalam pembicaraan.
Ternyata, tangisan dan jeritan Meme tadi karena dia khawatir Nonik akan menangis karena merasa kesakitan saat dipasangi infus. Meme ingin mendampingi Nonik, karena Meme sebelumnya sudah dua kali masuk rumah sakit dan diinfus.
Meme ingin memberikan dukungan kepada saudara kembarnya yang sakit. Meme terus menasihati Nonik supaya menuruti perkataan dokter dan para suster, supaya Nonik jangan menangis, supaya Nonik mau makan dan sederet nasihat lainnya.
Selama lima tahun lebih mereka berdua hadir di dunia, rasanya baru kali ini saya menyaksikan ikatan kasih yang begitu kuat di antara mereka.
Mungkin begitulah yang mereka lakukan ketika berada dalam kandungan kurang dari sembilan bulan lamanya. Saling mendukung, saling menolong.
Dan hal itu semakin tampak ketika pada sore harinya Meme datang mengunjungi Nonik di rumah sakit. Dengan lutut bertelut di kursi, tangan Meme memegang erat tangan Nonik sambil mencium pipi dan kening Nonik.
Pelajaran kedua – Kehangatan kasih
Selama beberapa hari istri berjaga di rumah sakit bahkan juga menginap untuk mendampingi anak kedua kami tersebut. Terpaksa dia meninggalkan pekerjaannya. Terpaksa cuti potong gaji karena jatah cuti tahunan sudah habis. Berdua bersama mama mertua, istri merawat Nonik di rumah sakit.
Dua hari berlalu, tidak mungkin bagi istri untuk meneruskan cutinya karena pekerjaan di kantor yang semakin menumpuk, juga alasan nominal pemotongan gajinya yang lumayan besar. Kali ini saya yang bertugas menjaga, merawat dan mendampingi.
Sendirian, saya berjaga.
Berusaha menghibur dan membujuk supaya Nonik mau makan. Menyediakan kantong plastik setiap kali dia muntah. Menggosok dan mengelus punggungnya supaya dia bisa tidur.
Dan ketika malam semakin larut, saya menyiapkan tikar plastik sebagai alas tidur di lantai rumah sakit. Sambil berusaha memejamkan mata, saya merenung,
ternyata begini rasanya menjaga anak di rumah sakit. Ternyata begini rasanya bermalam di rumah sakit.
Baca Juga: Menemani Anak yang Diopname, Bermalam di Rumah Sakit – Day 1: A Blessing in Disguise?