Saya tak pernah membayangkan akan menghabiskan waktu untuk bermalam di rumah sakit. Tidak pernah terlintas sama sekali dalam pikiran saya ketika membawa si kecil yang sedang demam tinggi, bahwa ia harus dirawat inap. Tanpa persiapan dan penuh kepanikan, karena bahkan dokter pun tak bisa menjelaskan apa penyakit yang diderita oleh putri saya yang masih baru berusia satu tahun ini.
Tak tega tentu saja melihat tangan kecilnya harus ditusuk jarum berkali-kali. Untuk memasukkan infus serta mengambil sampel darah untuk mencari tahu sebab pasti dari demam tingginya yang tak kunjung turun itu.
Saya menangis ketika ia menangis. Dan hati saya turut menjerit ketika ia menjerit.
Suami dan ibu saya sebelumnya berkeras untuk tidak merawat-inapkan anak saya. Toh, ia masih bisa makan minum dengan normal, tidak mual, tidak juga lemas. Namun, saya takut jika sampai kami memaksa untuk membawanya pulang dan menunggu tiga hari lagi, penyakitnya justru makin parah dan menjalar ke mana-mana. Saya tak memiliki kemampuan yang sama dengan para dokter yang memang sudah ahli dalam bidang mereka. Akhirnya, setelah melalui perdebatan yang cukup sengit, saya pun – sebagai ibu – menang. Kami memutuskan Si Kecil dirawat inap.
Dari rangkaian kejadian yang cukup melelahkan ini, saya mengambil hikmah, a blessing in disguise.
Saya menyadari, ternyata saya memiliki banyak teman yang perhatian.
Pertama-tama saya memberitahukan kondisi anak saya pada teman satu grup di mana saya diberi tanggung jawab sebagai admin. Saya meminta izin untuk fokus pada kesehatan anak saya terlebih dahulu. Saya kira, biarlah sesama admin saja yang tahu, karena ini memang berhubungan dengan pekerjaan dan tanggung jawab saya.
Namun, siapa sangka jika akhirnya seluruh anggota di grup chat besar kami akhirnya turut mendoakan keadaan anak saya. Ya, mereka semua khawatir dan mengirimkan doa.
Saya merasa terharu ketika membalas chat pribadi mereka satu per satu. Saya bisa merasakan kehangatan perhatian mereka walau dari kejauhan. Dan saya sangat bersyukur karenanya.
Persahabatan tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Begitu juga dengan doa dan perhatian yang mereka berikan pada saya.
Saya semakin meyakini, di balik duka ada hal-hal kecil yang bisa disyukuri.
Saya sedih ketika melihat anak saya menjerit-jerit menangis saat tubuh kecilnya dipegangi kuat-kuat oleh para perawat yang hendak memasangkannya cairan infus. Namun, kemudian saya menyadari, dengan dipasangnya cairan infus ini saya tidak perlu khawatir anak saya mengalami dehidrasi. Satu hal lagi, cairan obat bisa langsung dimasukkan melalui infus sehingga drama meminumkan obat melalui jalan oral tidak perlu terjadi lagi.
Walau demikian, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Karena anak saya yang luar biasa aktif ini dengan berbagai tingkahnya berhasil mencabut selang infusnya sendiri.
[Dan saya hanya bisa nyengir sambil gigit jari, frustrasi]
Ternyata sebagus-bagusnya kamar di rumah sakit, masih lebih nyaman kamar sendiri.
Kami menggunakan bantuan jasa asuransi untuk membayar tagihan rumah sakit. Namun, karena jatah kamar kami yang seharusnya [kelas 1] penuh, kami harus meng-upgrade ke kelas eksekutif alias VIP.
Sama halnya dengan hotel, kamar VIP rumah sakit juga memiliki kelebihan fasilitas yang dibanding kamar lainnya. Ya jelas. Harganya saja beda, kok.
[Lagi-lagi saya hanya bisa gigit jari]
Untung kami tidak harus membayar penuh. Kalau tidak, ya, makin buntung. Sudah susah anak sakit, susah pula bayar tagihan rumah sakit. Ah, capek, deh …