Tidak jarang saya merasa bosan mendengar kisah yang sama dituturkan oleh Mama. Saking seringnya diulang, saya bahkan rasanya hafal setiap kata yang dituturkannya.
“Oh, iya, aku sudah tahu,” sahut saya ketika kisah yang sama diulanginya lagi.
“Loh, kok bisa? Tahu dari mana?” tanyanya, lupa bahwa dia sudah menceritakan hal yang sama dengan kalimat-kalimat yang sama untuk kesekian kalinya.
“Kan, Mama yang cerita,” jawab saya. Atau, “Kan, waktu itu aku ada di situ.”
Mama biasanya akan terdiam sejenak, mencoba mengingat kembali, lalu menyerah. “Oh, ya? Mama lupa.”
Beberapa hari atau paling cepat beberapa menit kemudian Mama akan mengulangi lagi kisah yang sama, padahal tadi sudah dibahas.
“Itu biasa,” ujar bapak rohani saya, yang segenerasi dengan Mama.
“Kalau terjadi lagi, dengarkan saja. Anggap seperti baru pertama kali dengar dia cerita. Dengan begitu orang tua akan merasa lebih tenang, tidak merasa dihakimi karena pikun.”
Menyadari dirinya makin pikun merupakan hal yang sulit diterima dan dijalani oleh orang tua. Sayangnya, sebagai anak kita tak bisa memahami yang orang tua rasakan.
Walaupun sudah jadi orang tua, kita belum pernah jadi setua mereka.
Saya mencoba melakukan nasihat dari bapak rohani.
Meskipun tampaknya sederhana,
ternyata lebih banyak mendengarkan dan lebih lambat untuk berkata-kata tidaklah mudah.
Namun, ketika saya mencoba tutup mulut dan pasang telinga untuk mendengarkan lagi kisah yang sama dituturkan oleh Mama, pembicaraan kami jadi lebih menyenangkan. Hubungan kami pun lebih rukun karena tidak ada ribut-ribut yang tidak perlu.
Baca Juga: Ketika “Tabrakan” dalam Relasi Tak Terhindarkan, Ingatlah Satu Hal yang Menyelamatkan Relasi Ini
Pikun memang tak bisa dicegah, tapi keributan bisa dihindari dan kerukunan bisa dijaga.