“Kalau di kampung, Ce, anak gadis umur di atas 20 belum menikah itu dibilang perawan tua …” ujar salah seorang pembantu rumah tangga saya.

Saya berulang kali berusaha mengubah pola pikirnya tetapi tidak berhasil juga. Anak gadisnya sudah menikah ketika berusia 19 tahun dan memiliki anak di usia 20 tahun. Kini anak laki-lakinya kemungkinan tak akan disekolahkan lebih lanjut. Ia lebih senang jika anaknya bekerja saja, lalu menikah.

Betapa saya merasa sangat miris dengan banyaknya pernikahan dini yang terjadi di negara kita. Walau di beberapa tempat telah menjadi budaya, tetapi sepertinya para orangtua perlu diedukasi mengenai pentingnya pendidikan tinggi bagi anak mereka dan juga bahaya dari pernikahan dini.

Pernikahan Dini Mendukung Tingginya Angka Perceraian

Di masa kini pun, pasangan muda-mudi sering kali menikah karena paksaan dan desakan dari orangtuanya. Mereka menganut pemahaman: “menikah saja daripada berbuat zinah.” Bisa juga karena paksaan dari masyarakat di sekitar mereka. Jika tidak menikah di usia tertentu, mereka bisa disebut perawan tua. Atau jika pacaran terlalu lama, nanti dibilang yang tidak-tidak. Akhirnya, mereka menikah tanpa ada persiapan mental dan tentu saja ekonomi yang mapan.

Ketika pernikahan mereka diombang-ambingkan oleh badai kehidupan, mereka yang tak siap ini banyak yang memutuskan untuk berpisah. Alasannya, tidak cocok. Atau perselingkuhan. Yang membawa kita ke poin berikutnya.

Pernikahan Dini dan Perselingkuhan serta Kekerasan dalam Rumah Tangga

Pasangan muda yang menikah terlalu dini tidak pernah menikmati masa-masa pacaran seperti pasangan lain yang menikah pada usia matang. Akibatnya, ketika mereka melihat seseorang yang kelihatannya ‘lebih’ daripada pasangannya, mereka tergoda dengan cepat. Memang tak semua seperti itu, tetapi bukankah kebanyakan seperti itu? Tidak hanya pria, wanita pun demikian.

<!–nextpage–>

Lalu, kekerasan dalam rumah tangga juga banyak terjadi. Kurangnya pendidikan bisa menjadi penyebabnya, ditambah dengan tekanan kehidupan yang tinggi. Pasangan dan anaklah yang sering kali menjadi korbannya.

Minimnya waktu pacaran membuat banyak orang tak mengenal baik bagaimana sifat dan perangai pasangannya. Bagaimana mungkin kita bisa mengetahui tabiat seseorang jika hanya mengenalnya dalam waktu singkat? Di awal mungkin ia terlihat baik, tetapi hanya waktu yang dapat membuka segala keburukannya.

Rendahnya Kualitas Sumber Daya Manusia

Pendidikan adalah satu-satunya cara untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Namun banyaknya anggapan bahwa pendidikan tidak penting, yang penting bisa bekerja, atau anak gadis yang belum menikah di atas usia 20 tahun adalah perawan tua, membuat banyak orang lebih memilih untuk meninggalkan pendidikan terlalu dini. Akibatnya, minimnya kualitas SDM kita berakibat pada tingginya angka pengangguran.

Fenomena pernikahan dini ini perlu segera diatasi. Salah satunya dengan mengubah pola pikir masyarakat. Biarkan anak-anak menempuh pendidikan setinggi mungkin. Biarkan mereka menikmati masa muda mereka semaksimal mungkin. Jangan paksakan anak-anak untuk menikah dalam usia terlalu muda (di bawah usia ideal untuk menikah, perempuan 25 tahun dan pria 27-29 tahun).

Percayalah,

pernikahan akan lebih bahagia jika kedua belah pihak telah sama-sama matang dan dewasa.

Jangan menikah jika alasannya teman-teman lain sudah menikah, atau karena orangtua sudah mendesak untuk menikah. Menikahlah, jika Anda dan pasangan benar-benar telah siap secara fisik, mental, dan finansial.

Baca Juga:

Sendiri Tidak Berarti Sepi, Berdua Belum Tentu Bahagia. Single di Usia 35, Saya Happy dan Menikmati Menjalani Hidup Sendiri

Pacaran itu Dosa, Kata Siapa? Ini 5 Manfaat Berpacaran yang Mungkin Tidak Banyak Orang Duga

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here