Mengingat kejadian kala itu, saya merasa seorang anak SMP lebih kuat menahan diri dan menunjukkan pengampunan dibandingkan diri saya yang sekarang ini. Bukankah orang dewasa lebih pendendam dibandingkan anak-anak? Dibandingkan waktu masih naif dulu, rasanya saya sekarang lebih sulit menahan mulut ketika kemarahan meledak!
Masih membekas dalam ingatan saya bagaimana seorang teman SMP dengan sengaja menuliskan sebuah surat cinta atas nama saya untuk seorang kakak kelas. Kehebohan tercipta seketika di sekolah, sementara saya bingung, tidak mengerti dengan tatapan dan tawa yang tertuju untuk saya.
Entah berapa hari lamanya kehebohan tersebut berlangsung. Awalnya saya tidak peduli. Toh saya tidak melakukan apa-apa. Saya mulai risih ketika seorang yang saya kenal, sebut saja Budi, mulai mengata-ngatai saya. Sebagai adik kelas, apalagi perempuan, saya dianggap ganjen, agresif dan genit. Entah apa lagi.
Ketika Kemarahan Menguasai
Dibandingkan dengan si iseng penulis surat cinta, saya lebih marah pada si Budi. Saya merasa sangat marah sehingga ingin membuka rahasia besarnya.
“Hati-hati loh, jangan bilang ke siapa-siapa!” begitu kata Mama saya memperingatkan, “Kan nggak enak kalau Budi sampai tahu dari mulutmu.”
Si Budi ini, yang mencela saya karena “menulis surat cinta untuk temannya” ternyata anak adopsi. Bukan anak kandung. Menurut Mama saya yang kenal dengan Mama Budi, si Budi sendiri belum tahu cerita sesungguhnya.