“Seberapa besar sih, Pak Wepe, arti cinta pertama bagi seorang pria?”
Pertanyaan ini membuka percakapan kami di suatu sore di ibukota. Pertanyaan seorang perempuan yang sedang gelisah dengan rumah tangganya.
“Tergantung kualitas pengalaman itu sendiri sih. Jika menyenangkan, bukan tak mungkin akan sangat membekas di hati. Bahkan bisa jadi menentukan kriteria dalam pencarian pasangan,” jawab saya.
“Oh, pantesan. Saya bisa mengerti sekarang. Soalnya saya dan dia sekilas memang mirip,” ujar perempuan itu.
Selanjutnya ia bercerita tentang suaminya. Seorang pria pekerja kantor biasa. Ayah dari dua anak yang duduk di sebuah sekolah dasar. Pria yang rajin bekerja, beribadah, dan peduli terhadap anak-anak.
“Semua berubah setelah reuni teman SMP nya. Ia bertemu dengan cinta pertamanya. Saya tidak tahu sejauh apa hubungan mereka. Tapi yang jelas suami saya berubah. Ia makin asyik bermain HP, caranya berpakaian berubah, dan cukup sering terlambat pulang kantor,” tutur perempuan itu.
“Oh, ibu tahu semua itu darimana?”
“Suami saya mengakuinya, setelah saya tanpa sengaja membuka HP nya dan membaca semua percakapannya.”
“Reaksi ibu waktu itu bagaimana?”
“Saya marah tentu saja, karena komunikasinya nampak begitu akrab dan pribadi. Ada hal-hal yang bahkan tak diceritakan suami ke saya, tapi justru ke perempuan itu.”
“Menurut ibu, suami dan perempuan itu sudah tidur bersama?” saya langsung menukik pada percakapan yang sensitif ini.
Ia terdiam. Tak ada jawaban. Suara lirihnya memecah suasana,” Saya rasa belum, Pak Wepe. Suami saya bukan tipe yang seperti itu. Menurut pengakuan suami sih belum sejauh itu. Semoga memang belum ya?”
“Lalu, apa yang paling menggelisahkan hati ibu?”