Tetapi, seringkali tempat duduk khusus itu ditempati oleh pekerja berbusana kantor yang menutup mata dan menyumpal telinga dengan earpiece yang terhubung dengan gawai mereka. Entah mereka benar-benar lelah dan tertidur atau hanya menutup mata tanda tak ingin peduli akan keadaan sekitarnya? Anehnya, mereka selalu terbangun di momen yang pas ketika kereta berhenti di tempat tujuan mereka. 

Sekali saya menjumpai seorang belia berpakaian modis yang membawa map bertuliskan nama sebuah universitas terkemuka di negara itu. Ia sibuk berbincang dengan teman yang berdiri tepat di depan tempatnya duduk. Ia bergeming melihat saya memasuki gerbong kereta. Ia juga tak repot menengok seorang nenek yang memakai tongkat bantu berjalan yang naik ke gerbong beberapa stasiun setelah saya naik.

Saya jadi bertanya-tanya, apakah kampanye kesantunan ini dibuat untuk menjadi vitamin penyubur kebaikan yang sudah hadir di komunitas ini atau justru diharapkan menjadi penawar perilaku individualis yang semakin merajalela?

 

Tak Terduga

Dalam hati, saya mengucapkan sebuah harapan, saya masih ingin melihat ada seorang yang sungguh baik di negara yang pernah menjadi tempat saya membangun hidup walau hanya beberapa tahun saja. Tapi sepertinya harapan itu tak akan menjadi kenyataan. Tanpa ingin jadi lebay, memang tak ada seorangpun yang menawarkan tempat duduk bagi saya selama hari-hari liburan di sana.

Hingga di malam terakhir sebelum kami kembali ke tanah air, kami sedang antri memasuki gerbong kereta cepat untuk kembali ke tempat tinggal. Malam itu malam Minggu dan waktu sudah cukup larut, antrian masuk gerbong sudah padat; jelas saya berharap tak mendapat tempat duduk (lagi). Perjalanan kami akan memakan waktu sekitar 25 menit ke tempat tujuan. “Sudah malam terakhir, tahan-tahan aja berdiri ya,” saya berucap dalam hati pada diri saya sendiri.

Benar saja, ketika kami masuk ke dalam gerbong, lautan manusia memadatinya dan semua yang menempati tempat duduk berlagak tak mengamati siapa saja yang memasuki gerbong kereta. Pupusnya harapan saya merasakan kesantunan yang dulu sering saya rasakan bertahun-tahun yang lampau.

Tiba-tiba, seorang pria berdiri dan memberi tanda agar saya menempati tempat duduk yang ia tempati itu. Ia sampai memastikan orang lain tak menempati bangku itu. Pria itu kemudian berdiri di dekat pintu kereta. “Ah, mungkin sebentar lagi ia turun,” demikian pikir saya.

Saya mengamati pria itu sejenak. Rambutnya gimbal, cenderung tak terawat. Celana cargo-nya sudah usang, sepatu bootnya kotor dan pudar warnanya. Ia memanggul tas pundak yang juga sudah usang. Wajahnya tidak nampak begitu ramah; cambangnya tak terurus, frame kacamatanya sudah mengelupas di beberapa bagian. Kesan pertama yang jauh dari kata “santun”.

Tapi kemudian saya terhenyak, jawaban doa saya ada dalam diri pria sangar “berhati hello kitty” yang menyerahkan tempat duduknya kepada kami, keluarga yang sudah kelelahan setelah rekreasi hari itu. Ia tak butuh kampanye #StandUpStacey untuk menyerahkan bangkunya; lagipula bangku yang ia tempati bukanlah bangku yang dikhususkan untuk kampanye itu. Ia tak butuh penampilan bersahaja nan menawan untuk melakukan kebaikan. Ia bukan #StandUpStacey yang berwajah elok dengan aura yang menarik; ia hanya seorang pria yang kelelahan sehabis kerja namun merelakan kenyamanannya bagi orang lain yang ia pikir lebih membutuhkan. 

 

Satu Pelajaran 

Kampanye kesantunan tak menentukan perilaku yang diwarnai kebaikan. Demikian juga penampilan lahiriah yang menarik tak selalu akan diikuti dengan kemurahan hati yang tulus. Hari itu, saya bersyukur dapat sekali lagi mengalami kebaikan lewat sesosok manusia biasa yang seringkali mendapat penilaian tak adil hanya karena penampilan fisiknya.

Oh ya, si pria ini ternyata tak kunjung meninggalkan gerbong kereta. Tempat tujuannya ternyata hanya berjarak dua stasiun dari tujuan kami. Ia memilih berdiri demikian lama; bukan karena kampanye tapi karena ia memilih untuk peduli, bukan karena ia Stacey seperti yang ada di iklan tetapi karena ia seorang manusia yang dipenuhi kebaikan.

 

 

Baca Juga:

Pahlawan Tak Harus Berjubah atau Bersayap, tapi yang Berani Melakukan 5 Hal Ini

Jadikan Pengalaman Kita Bukan Sebagai Sarana Penghakiman, tetapi Penghiburan bagi Orang Lain. Begini Caranya!

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here