Beberapa hari yang lalu, saya sempat tergelitik dengan sebuah broadcast yang judulnya “SEKILAS TERDENGAR BIASA TAPI BISA BERBAHAYA”. Isinya adalah tentang pertanyaan-pertanyaan yang biasa terlontar dalam percakapan sehari-hari. Bisa jadi pula, apa yang selanjutnya dikemukakan dalam percakapan tersebut tampak seperti kata-kata bijak. Namun, jika dicermati lebih dalam, sesungguhnya semua itu bisa menjebak kita menjadi pribadi yang buruk.
Mengapa?
Sebab, ketika kita tak hati-hati mencerna setiap pertanyaan dan jawaban yang dipaparkan, secara tidak langsung hal tersebut bisa membuat kita terperangkap pada keadaan mengasihani diri sendiri dengan membandingkan orang lain. Ujung-ujungnya membuat kita mudah berprasangka buruk terhadap orang lain, hingga berperilaku negatif.
Oleh sebab itu, renungkan kembali ketika kita menerima pertanyaan sebagai berikut:
1. Berapa Gajimu?
Suatu hari, kamu sedang bercakap-cakap dengan temanmu, dan kamu pun bertanya, “Berapa gajimu sebulan kerja di toko itu?”
Ia pun menjawab, “1,5 juta rupiah.”
“Cuma 1,5 juta rupiah?” tanyamu sambil terperangah, dan mungkin dari rasa simpatimu kamu melontarkan perkataan, “Sedikit sekali ia menghargai keringatmu. Apa cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupmu?”
Memikirkan tanggapanmu atas besaran gajinya, temanmu pun mulai berhitung-hitung. Sejak saat itu, temanmu jadi membenci pekerjaannya, lalu dia meminta kenaikan gaji pada pemilik toko. Tak terduga, pemilik toko menolak dan malah mem-PHK-nya. Alih-alih mendapatkan kenaikan gaji, temanmu jadi pengangguran dan tidak berpenghasilan.
Renungkan!
Jika selama ini gajimu hanya 1.5 juta, tetapi bisa mencukupi kebutuhanmu, mengapa tak mengucap syukur saja? Toh, semakin banyak gaji yang didapat juga belum tentu bisa memenuhi kebutuhan hidup bila tak disertai dengan rasa cukup. Sejujurnya, tugas kita adalah melakukan yang terbaik dalam setiap pekerjaan yang sudah dipercayakan kepada kita. Meskipun pekerjaanmu tak membuatmu kaya, tetapi bisa memberimu kehidupan, bukankah itu saja sudah merupakan hal yang baik?
2. Kamu Tidak Merasa Rumahmu ini Sempit?
Saat sedang arisan, seorang ibu bertanya kepada temannya yang merupakan pemilik rumah, “Rumahmu ini apa tidak terlalu sempit? Bukankah anakmu banyak ?”
Rumah yang tadinya terasa lapang, sejak saat itu mulai dirasa sempit oleh penghuninya. Ketenangan pun hilang saat keluarga ini mulai terbelit hutang di kala mencoba membeli rumah yang lebih besar dengan cara kredit ke bank.
Renungkanlah!
Rumah yang bagus bukan saja terletak pada bangunannya, tetapi suasana di dalamnya. Kehangatan, kedamaian, dan kebahagiaan seisi rumahlah yang menjadikan rumah itu tampak indah. Buat apa punya rumah yang besar, jika penghuninya tak ada yang betah di rumah? Eh, malah pembantunya yang menikmati rumah gedongan itu, sayang bukan?
Senior saya pernah mengeluhkan keadaan rumahnya yang saat ini seperti kuburan. Padahal, sewaktu anak-anaknya masih kecil, ia mendambakan punya rumah yang lebih besar dengan maksud agar kelak semua anak cucunya bisa berkumpul dalam satu rumah. Namun, setelah rumahnya dirombak bak istana, justru yang terjadi sebaliknya. Anak dan cucunya tak lagi tinggal di situ. Akhirnya hanya dia seorang diri yang bisa menikmati rumah mewah itu, ironis bukan?