“Becak, Mas?”
Seorang bapak tua menawarkan jasanya, ketika saya melangkah keluar dari stasiun kereta api. Tawaran itu tak menarik bagi saya. Di era ada taksi online, jangankan becak, taksi konvensional pun terasa kurang menarik.
Menjelang sore itu, seorang rekan yang berjanji menjemput ternyata memberi kabar bahwa ia tak bisa datang.
“Naik Becak saya aja, Mas. Sesekali memberi rezeki pada tukang becak,” kembali tawaran itu terdengar.
Saya menyetujui tawaran itu. Mungkin karena merasa kasihan kepadanya. Walau sebenarnya tersimpan ragu juga ketika memperhatikan penampilannya. Usianya yang sudah renta, dan badannya yang kecil. Sanggupkah ia mengayuh becak?
Pertanyaan itu terjawab ketika beberapa ratus meter kemudian ada jalan yang agak menanjak. Ia turun dari becaknya, dan mendorong. Merasa kasihan padanya, saya meminta ia berhenti sejenak, saya pun meloncat turun dan membantunya mendorong becak.
Selepas jalan yang agak menanjak itu, ia meminta izin untuk berhenti sejenak. Nafas nya sudah ngos-ngosan.
Saya mengulurkan air mineral kepadanya,” Mohon maaf, umur bapak berapa?
“70 tahun, Mas.” jawabnya sambil menerima air mineral itu.
“70 tahun! Mengapa tak istirahat di rumah saja, Pak. Mengapa harus terus menarik Becak?”
“Sebentar lagi saya berhenti, Mas. Beberapa bulan lagi, anak saya lulus SMK. Kalau ia sudah dapat kerjaan, saya akan berhenti. Anak-anak saya yang lain sudah kerja juga. Mereka juga membantu membiayai adiknya. Mereka minta saya berhenti narik becak, tapi saya tidak mau. Saya mau tetap narik becak untuk membiayai anak yang terakhir ini,” ujarnya mantap.
“Oh …” hanya itu yang keluar dari bibir saya. Tak mudah menarik becak di usia 70 tahun.
Namun, benarlah perkataan itu: mereka yang punya alasan akan bertahan dalam situasi kehidupan seberat apa pun.
Bukan soal berapa berat beban kehidupan, tapi apakah kita punya alasan untuk bertahan dan berjuang?
Baca Juga:
Kisah Cinta Sejati, Pernahkah Anda Menemukan yang Seperti Ini?