“Saat itu aku terbaring lemah dan kesakitan. Kukira itu adalah akhir hidupku. ‘Ma, jangan pergi dulu, aku belum siap ditinggal Mama,’ anakku merengek dengan berlinang air mata.
Waktu anakku ngomong gitu, aku cuma bisa bilang, ‘Mama itu cuma titipan Tuhan, engga akan selamanya bareng sama kamu. Sama kayak kamu itu juga cuma titipannya Tuhan buat mama.’ Syukurlah, sekarang mereka sudah jauh lebih ikhlas.”
Itu adalah cerita beberapa tahun yang lampau. Sebuah cerita yang terlontar dari mulut seorang Ibu berusia 45 tahun yang kutemui sebelum menutup tahun 2018 dalam sebuah camp.
Menjalani Autoimun dengan Rasa Syukur
Saya baru mengenalnya beberapa menit sebelum beliau menceritakan kisahnya itu. Bibirnya yang senantiasa tersenyum, sikapnya yang begitu hangat, mulutnya yang aktif berbicara dengan penuh lelucon; tidak terlihat sama sekali kalau beliau adalah seorang yang sedang menderita penyakit.
“Oh, mungkin beliau sudah sembuh dari penyakitnya” tukasku dalam hati. Namun beliau berkata bahwa beberapa organ tubuhnya sempat mengalami sakit yang luar biasa secara bergantian, bahkan beberapa organ tubuhnya sudah diangkat. Penderitaan beliau semakin lengkap karena ditambah dengan fakta bahwa beliau selalu harus mengonsumsi serangkaian obat selepas makan.