“Sampai mati, bisa jadi saya tidak akan pernah memakai batik itu.”

Itulah ucapan terakhir suami saya sebelum meninggalkan saya untuk berangkat bekerja sebagai seorang guru. Bau asap knalpot sepeda motornya masih menguar di udara saat saya beranjak masuk rumah.

Kami memang sempat bertikai sebelum suami berangkat bertugas. Saya menemukan kemeja batik baru di tas kerja kusamnya. Tas kerja itu sudah bertahun-tahun dia pakai. Warna coklatnya sudah memudar dan banyak bercak-bercak putih di tas hadiah rekan-rekan guru saat dia dipindahkan ke kota kecil ini.

“Ayah beli batik baru ya?” tanya saya dengan suara meninggi saat menemukan kemeja itu tadi pagi.

“Ya,” jawabnya singkat sambil menghindari tatapan mata saya yang tajam.

“Untuk apa beli batik baru, sedangkan kebutuhan dapur masih banyak?” serang saya.

“Mau saya pakai untuk memberikan penyuluhan kepada guru-guru sekecamatan,” ujarnya.

“Mengapa harus pakai batik baru sedangkan yang lama masih ada?” kejar saya.

“Sampai mati bisa jadi saya tak akan pernah memakai batik itu,” jawab suami saya dengan suara yang tak kalah tingginya dan meninggalkan saya untuk bekerja.

Saya kaget. Baru kali ini suami saya bersuara meninggi. Itulah ucapan terakhirnya sebelum dia berangkat bekerja. Ternyata itu pulalah ucapan terakhirnya yang sempat saya dengar. Ucapan terakhir yang seharusnya tidak saya dengar. Bukan ucapan seperti itu yang saya harapkan saya dengar dari suami yang akan meninggalkan saya selamanya.

Telepon dari kantor polisi mengabarkan suami saya mengalami kecelakaan tunggal saat pulang mengajar di tengah hujan yang deras. Penglihatan suami saya memang kurang baik, apalagi di tengah hujan seperti itu. Kalau kami bepergian malam hari, sayalah yang seringkali menjadi ‘mata tambahan’ baginya. Penglihatannya sedikit memburam.

Kali ini mata sayalah yang memburam penuh air mata saat saya mendengar seorang guru yag datang melayat berkata, “Hari itu Bapak kelihatan aneh. Dia tampak murung saat berada di ruang guru. Canda tawanya tidak ada lagi. Mungkin dia tadi menyetir motor sambil melamun. Entah apa yang dia lamunkan.”

Saya tidak tahan mendengar ucapan itu dan masuk kamar mandi untuk menumpahkan airmata saya di sana.

Penyesalan Selalu Datang Terakhir

Makam suami saya masih membasah. Demikian juga mata saya. Saya tidak menduga bahwa pertikaian kecil soal kemeja batik bisa membuat kami berpisah untuk selamanya.

Karena sering tampil di depan umum, baik sebagai guru maupun pemberi penyuluhan ke desa-desa, suami saya memang suka dandan. “Tuntutan profesi, Jeng,” ujar seorang sahabat saya saat saya curhat masalah itu.

Saya yang sehari-hari disibukkan antara dapur dan sumur jadi kurang peka terhadap hal ini. Kini saat suami saya sudah tiada, saya menyasali diri mengapa masalah yang tampaknya sepele bisa berakibat fatal seperti ini. Kini setiap kali melihat kemeja batik baru yang saya bungkus plastik dan saya gantung di bagian terdepan lemari pakaian kami, mata saya selalu membasah.

“Sampai mati, bisa jadi saya tak akan pernah memakai batik itu,” Ucapan terakhir suami saya itu selalu terngiang-ngiang.

* * *

Saat merenungkan kisah di atas, saya menemukan tiga butir mutiara penting dalam berelasi, khususnya pasangan suami istri.

1. Memahami orang lain lebih dulu ketimbang minta dipahami ternyata tak mudah

Meskipun saya sudah melalui pernikahan perak kami, saya masih sering bingung dengan pola pikir istri. Demikian juga dengan dia. Bisa jadi istri saya pun belum memahami pikiran saya sepenuhnya. Meskipun jarang dan intensitasnya tidak setinggi dulu, kami masih sering berbeda pendapat dalam hal-hal yang sebenarnya sederhana.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here