Tak terbilang berapa kali saya mendengarkan kalimat ini “ … sampai maut memisahkan” dalam acara pernikahan. Ya, tentu saja orang dalam keadaan jatuh cinta dan kemudian memasuki pernikahan dengan gembira tak akan sulit mengucapkan janji itu.
Yang tersulit adalah untuk menghidupi janji itu, bukan?
Sampai maut memisahkan? Lalu bagaimana kalau ternyata perilakunya tak pernah berubah? Tak bertanggung jawab? Sakit terus menerus? Suka menganiaya? Selingkuh?
Sungguh tak mudah, bukan? Tak heran beberapa pernikahan berakhir dengan perpisahan. Suatu hal yang tak pernah direncanakan dan diharapkan siapa pun juga yang memasuki pernikahan.
Saya merenung ulang mengapa mesti ada janji semacam itu. Mengapa bukan janji yang lebih realistis saja seperti: ” … sepanjang saya masih merasa cocok dan cinta.” Kalau sudah tidak cocok atau tidak cinta, ya sudah. Boleh berakhir dengan bahagia.
Berakhir dengan bahagia?
Rasanya saya belum pernah menjumpai sebuah pernikahan yang berakhir dengan bahagia. Tak peduli betapa pun buruk pernikahan yang dijalani, ketika berakhir memang ada rasa lega. Tapi bahagia? Rasanya tidak. Tetap berurai air mata. Ya, bagaimana mungkin sekian lama hidup bersama tak meninggalkan jejak kebahagiaan sedikit pun?
Janji ”… sampai maut memisahkan” bukan hanya berbicara soal durasi relasi yang diharapkan. Namun, kesediaan untuk memberi ruang pengampunan dan perubahan. Ruang bagi bagi siapa? Tentu saja bagi pasangan yang bisa saja melakukan banyak kesalahan.
Sesungguhnya bukan hanya pasangan yang bersalah yang membutuhkan ruang untuk pengampunan dan perubahan, tetapi juga diri kita sendiri. Kita bersalah dalam banyak hal, entah diketahui pasangan atau tidak, dan membutuhkan ruang untuk mengupayakan perubahan.
Jadi, janji ” … sampai maut memisahkan” adalah sebuah janji untuk memberi ruang, bagi pasangan dan diri sendiri, untuk berubah demi masa depan.
Perceraian meniadakan ruang untuk berubah itu, sehingga tak lagi ada masa depan dalam relasi.
Pernikahan selalu membutuhkan satu ruang itu: ruang bagi perubahan.
Selamat menjaga hadirnya ruang ini, demi keutuhan pernikahan.
.
Baca Juga:
7 Tanda Pernikahan Bergerak ke Arah yang Salah
Di Luar Saya Laki-laki, tetapi Jiwa Saya Perempuan. Itulah Sebabnya Pacar Saya Seorang Pria Juga