Mendadak saya teringat cuplikan lagu kuno dari sosok Ebiet G. Ade tentang efek penghakiman dan labelling terhadap seseorang. Generasi jadul seperti saya mungkin pernah mendengarkan lagu Ebiet yang berbunyi demikian:

 

“Dari pintu ke pintu kucoba tawarkan nama

demi terhenti tangis anakku dan keluh ibunya.

Tetapi tampaknya semua mata menatapku curiga

seakan hendak telanjangi dan kuliti jiwaku.”

 

Tokoh utama lagu ini adalah seorang narapidana yang telah divonis bebas. Meskipun ia telah menghirup udara di luar penjara, tetap cap hitam itu sedemikian susah lepas dari dirinya yang mungkin saja telah terlahir baru. Kondisi ini membuat si tokoh kembali meluapkan perasaannya dengan berdendang di bait selanjutnya:

 

“Apakah buku diri ini harus s’lalu hitam pekat?

apakah dalam sejarah orang harus jadi pahlawan?

Sedang Tuhan di atas sana tak pernah menghukum

dengan sinar mata-Nya yang lebih tajam dari matahari.”

 

Memang sebuah kesalahan fatal akan membelenggu seseorang pada sebuah periode tertentu. Tidak banyak orang mampu bangkit kembali jika tidak memiliki mental yang kuat untuk terus melanjutkan hidup. Bahkan Luna Maya pun pernah berujar bahwa ia sudah kenyang menerima hukuman sosial dari masyarakat yang menyalahkan dan menghujatnya atas kejadian video tersebut.

Tentu saja saya termasuk pihak yang menyayangkan munculnya video tersebut. Akan tetapi,

jika kita berbalik pada sebuah pemahaman bahwa setiap orang layak mendapatkan kesempatan kedua, apakah adil jika terus melihat masa lalu sebagai sebuah keselaluan?

Baca Juga: Saat Harimu Berantakan, Kamu Merasa Berada di Titik Terendah Kehidupan dan Kehilangan Harapan, Satu Pertanyaan Ini Mungkin Bisa Mengubah Keadaan

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here