Beberapa tahun lalu, saya berkesempatan untuk berangkat ke Filipina dan tinggal di sana selama satu bulan. Kepergian saya khusus untuk mengikuti internship di sebuah lembaga bernama True Love Waits. Di sana untuk pertama kalinya saya mendengar istilah sexual temptation ladder [tangga pencobaan seksual].
Maksudnya adalah,
kejatuhan seseorang dalam dosa seksual terjadi melalui tahapan-tahapan. Seperti menaiki tangga yang berujung pada sebuah tapakan yang amat rapuh, sehingga semua orang yang menginjaknya terjatuh.
Sebuah titik ketika kita tak bisa kembali lagi, begitulah mereka menyebutnya.
Saya pun teringat kepada berbagai kasus yang saya tangani di ruang bimbingan penyuluhan sekolah. Kejatuhan dalam pergaulan bebas yang terjadi pada anak-anak bimbingan saya dengan pacar maupun teman mereka terjadi persis seperti yang disampaikan dalam penjelasan tentang sexual temptation ladder tersebut.
Saya sendiri lebih suka menerjemahkan istilah tersebut menjadi “eskalator godaan seksual”, karena sekali menginjak tangga pertama, kita akan asyik terbawa naik dengan sendirinya.
Apabila kita sadar bahwa tidak seharusnya kita naik tangga tersebut, kita harus berjuang berlari turun sekuat tenaga dan secepat mungkin, melebihi kecepatan eskalator tersebut. Bila tidak, kita akan terus terbawa sampai ke atas … lalu dijatuhkan di pijakan rapuh.
Eskalator godaan seksual ini sering kali dipakai oleh para pria yang hanya menginginkan tubuh pacar mereka sebelum pernikahan.
Saya pernah tanpa sengaja dibawa Uncle Google pada obrolan seorang remaja yang tidak saya kenal di status Facebook-nya, yang ia set untuk bisa dibaca oleh publik. Statusnya kira-kira begini:
“Gue udah dapat cewe nih, ada yang bisa ajarin gue gimana cara menidurinya?”