Beberapa orang datang pada saya dengan keluhan tentang kehidupan. Keluhan yang disampaikan panjang dan lebar, dengan berapi-api bak seorang pemimpin demonstrasi.
Saya mendengarkan sembari mencoba mengingat beberapa kata atau frasa yang berulang, walaupun dengan pilihan kata yang berbeda.
Nah, setelah ‘orasi’ keluhan hidup itu selesai, biasanya terjadilah salah satu dari dua hal ini.
Pertama, orang yang berorasi itu berkata,” Ah, saya sudah lega. Terima kasih, ya, Pak Wepe. Sakit kepala saya sudah lenyap.”
Saya biasanya menjawab, “Sakit kepalanya tidak lenyap, kok. Hanya pindah.”
“Pindah ke mana?”
Saya pun menjawab,” Pindah ke kepala saya.”
Kedua, orang yang menyampaikan orasi itu berkata, “Terus, apa yang harus saya lakukan?”
Saya pun menyampaikan beberapa hasil pemikiran terkait masalah yang ada.
“Ah, saya sudah mencoba semua itu, Pak. Gagal, tak berhasil!” begitu jawabnya.
“Mengapa tidak mencobanya lagi?” tanya saya.
“Ah, tak mungkinlah itu. Tak bisa!”
Belakangan ini saya memikirkan keluhan-keluhan yang saya dengarkan di ruang-ruang konseling. Saya pun menyimpulkan, meski bisa jadi kesimpulan saya salah, bahwa ada keluhan-keluhan “kebanggaan”.
Saya beri tanda kutip pada kata kebanggaan, karena bagaimana mungkin orang mengeluh dan menjadi bangga?
“Bangga” karena memang ia sebenarnya tak membutuhkan solusi untuk keluhannya. Ia hanya membutuhkan kambing hitam untuk hidup yang tak semudah harapannya.
Kambing hitam ini tak akan dilepasnya. Sebab jika demikian, apa/siapa lagi yang dapat dimunculkan sebagai yang harus bertanggung jawab untuk semua kegagalannya?
Tak heran, Guru yang saya ikuti pernah menanyakan hal ini kepada orang yang puluhan tahun sakit,
“Maukah engkau sembuh?”
Karena beberapa orang memang tidak mau menjadi sembuh.
Hanya ingin mengeluh. Itu saja!