Keadaan ini membuat saya berpikir, alangkah tidak enaknya menikah dengan pasangan yang tidak seimbang. Pernah saya bertanya berkali-kali kepada Mama, mengapa tidak mengiyakan ajakan Papa untuk bercerai?
“Mama tidak mau bercerai, karena Tuhan benci perceraian. Kasihan anak-anak,” ujarnya mantap.
Seiring perjalanan waktu, saya semakin melihat bahwa komunikasi antar kedua orang tua saya semakin tidak lancar. Mama memilih untuk bertahan dengan caranya – demi menjaga kewarasan hidup. Ia tetap dengan setia menjalankan peranan sebagai istri dan ibu, serta tidak berhenti mencari nafkah hingga detik ini. Hanya, beliau memilih untuk lebih frontal di titik-titik tertentu. Adu mulut masih terjadi, bahkan masih terdengar gemanya hingga saya berumah tangga.
Meskipun saya setuju bahwa Tuhan tidak menyukai perceraian, tetap saya tidak bisa menahan diri untuk mengatakan bahwa menjadi anak dari korban perceraian emosional tidaklah lebih baik daripada perceraian yang sah di mata hukum. Share on X
Saat seseorang dengan sadar terus memberikan blackmail kepada pasangan hidupnya secara frontal di depan anak-anaknya, sesungguhnya ia sedang menghancurkan gambaran berkat yang dirancang Tuhan untuk dicurahkan ke dalam sebuah keluarga.
Sebaliknya, sedewasa apa pun tingkat kerohanian seseorang, jika ia memutuskan tetap diam dan tidak membela anak-anaknya saat menghadapi agresi verbal dari pasangan hidupnya – ia pun tanpa sadar telah menitipkan benih ketidakpercayaan terhadap hidup sang anak.
Itulah yang sempat membuat saya memiliki pertanyaan:
“Apakah aku cukup layak untuk dibela oleh Mama?”
“Apakah Mama setuju saat Papa mengatakan kata-kata yang tidak layak untuk anak-anak perempuannya?”
Hingga saat ini, saya dan saudari perempuan masih bergumul untuk pulih sepenuhnya dari perasaan tersebut.
Kami menyadari, bahwa melepaskan pengampunan adalah hal terbaik yang bisa diberikan untuk jiwa yang sehat. Share on X Kita hanya bisa “memaksa” diri sendiri untuk berubah. Tidak ada gunanya menuntut orang lain untuk berubah.
Setidaknya, kami semakin memahami, mengapa Pencipta kami disebut sebagai Bapa. Begitu banyak pihak yang merindukan kasih seorang ayah secara emosional. Indonesia yang terkenal sebagai fatherless country pun menambah keyakinan kami bahwa gambaran Bapa yang ideal itu ada dalam diri-Nya.
Meskipun kami tidak memiliki sosok ayah yang seharusnya dimiliki, kami tidak menjadi pahit membabi-buta. Kami memiliki Bapa yang menciptakan dan menjaga kami. Bapa yang memelihara, melindungi, dan mendatangkan kebaikan.
*****
Siapa pun Anda yang membaca tulisan saya dan kebetulan bernasib seperti saya, saya berharap Anda tetap bisa menjalani hidup dengan baik. Tetaplah mengandalkan pimpinan Sang Pencipta agar Anda tetap kuat dan bisa menikmati anugerah kehidupan ini.