Wirausaha atau entrepreneurship memang sangat baik diajarkan pada anak-anak seusia sekolah. Beberapa sekolah bahkan sudah menerapkan dan mengajarkan anak-anak didiknya untuk berwirausaha sejak dini. Anak-anak diajarkan cara mengelola usaha, menghitung laba dan rugi, serta modal awal yang dibutuhkan.
Mengapa harus sejak dini? Saya mencoba berpikir sejenak tentang keadaan “kekinian” yang banyak menuntut anak-anak semakin berpikir kritis dan kreatif. Di sisi lain, saya mencoba untuk melihat dari sisi “the pure education” atas seorang anak.
Tuntutan zaman yang semakin meningkat hari demi hari membuat persaingan anak-anak di dunia masa depan semakin kompleks. Bukan hanya dalam bidang teknologi, tetapi juga segala aspek. Paling tidak, anak sudah dipersiapkan secara matang dengan hal-hal yang akan menjadi tantangan mereka kelak.
Meski demikian, kita semua, baik sebagai orang tua, pembimbing, guru, mentor, atau pendidik, harus tetap aware akan kemajuan pola pikir anak. Seyogianya, anak tetap diarahkan kepada sesuatu yang baik dan terus memunculkan potensi dalam diri anak.
Jangan sampai anak hebat dalam berbagai hal dan kreativitasnya sangat maju, bahkan memiliki tingkat skill dan inteligensi yang sangat baik, tetapi karakternya tidak baik. Share on X
Anak-anak seperti itu rentan menjadi anak yang sombong, kurang bisa menghargai orang lain, bahkan tingkat simpati dan rasa empatinya minus. Selain itu mereka juga jadi memiliki rasa ingin melawan orang yang lebih tua. Mereka menjadi anak yang semaunya sendiri.
Pendidikan karakter anak memang harus menjadi satu paket dengan melatih kecerdasan anak. Hal satu ini harus terus diperlengkapi dan diajarkan terus-menerus kepada anak, sampai menjadi suatu kebiasaan yang baik untuk anak.
Ketika Prestasi adalah Kebisaan
Orang tua sering kali lalai memperhatikan karakter anak. Anak disibukkan untuk belajar, mengikuti les ini, les itu, dan kursus ini itu. Belum lagi tuntutan intelegensi dan skill yang lain pada anak. Orang tua merasa cukup berbesar hati dengan prestasi “kebisaan” yang ditoreh oleh sang anak. Dengan sangat bangga, mereka menceritakan prestasi “kebisaan” sang anak.
“Anak saya sudah jago main piano, karena sejak umur tiga tahun sudah saya leskan.”
“Anak saya sudah fasih berbahasa mandarin setiap hari.”
“Anak saya tidak pernah absen ranking di kelas.”
Hampir semua pujian promosi seperti itu sering saya dengar. Namun, untuk pujian “Anak saya baik, nurut,” atau “Anak saya jujur dan bertanggung jawab,” hampir jarang saya temukan. Orang tua selalu berfokus kepada prestasi dan “kebisaan” sang anak dan tanpa mereka sadari, mereka mengabaikan pendidikan karakter untuk anak.
Banyak anak yang berprestasi dalam kebisaan mereka, tetapi mereka bertumbuh dengan moral yang kurang baik. Menjadi anak pemarah, pemberontak, suka melawan orang tua dan guru. Yang seharusnya disalahkan bukanlah anak.
Terbiasa berprestasi sama sekali tidak salah, tetapi tuntutan orang tua agar anak memiliki “kebisaan” dan prestasi yang berlebihan sampai mengabaikan pengajaran moral, ini yang perlu diwaspadai para orang tua dan pendidik bersama-sama.
Saya rindu para orang tua lebih banyak mengumandangkan kebaikan karakter sang anak dan memuji dengan sadar. Daripada mengelu-elukan prestasi anak tetapi mengabaikan krisis moral pada anak mereka.