Siang itu seorang perempuan mengirimkan pesan kepada saya. Dia minta untuk bertemu bersama dengan suaminya untuk berkonsultasi. Dari isi pesannya terbaca sekali urgensi dari permohonan pertemuan tersebut. Maka saya menggeser pertemuan lain agar dapat bertemu dengan pasangan suami-istri muda tersebut.
Saat tiba di lokasi pertemuan, saya melihat seorang pria yang berdiri berjauhan dengan seorang wanita. Saya tidak mengenal si pria, sedangkan sang wanita cukup familier bagi saya karena anaknya seusia dengan anak saya.
Segera setelah kami bersama masuk ke dalam sebuah ruangan, saya mengajukan pertanyaan, “Apa yang bisa saya bantu untuk kalian?”
Si pria – sang suami – memperkenalkan diri dengan singkat lalu mencoba membuka pembicaraan, “Begini pak, kami ada kesulitan komunikasi. Saya, kan, bekerja di luar pulau, Pak. Jadi, saya jarang berkomunikasi dengan istri dan anak-anak saya …”
Belum selesai sang suami berbicara, istrinya tiba-tiba menyela, “Saya ingin bercerai, Pak!”
Sambil menangis, si istri melanjutkan kalimatnya,
“Saya tidak tahan lagi! Dia ini kerjaannya main perempuan terus, Pak!”
Ia lalu menunjukkan sebuah smartphone kepada saya. “Ini, Pak, buktinya! Ini pesan-pesan dari simpanannya! Ini, Pak!” Ia terus berbicara, mengungkap bukti-bukti yang ia punya.
Selesai mendengar argumen si istri, saya pun bertanya kepada sang suami, “Apa benar demikian?”
Dengan lirih, ia menjawab, “Iya, Pak. Tapi itu sudah lama sekali. Saya sudah tidak berhubungan dengan dia lagi, Pak. Betul, Pak. Saya tidak bohong.”
Si istri memotong dengan marah, “Bohong! Ini buktinya!”
Saya kembali memeriksa bukti yang disodorkan si istri. Sebenarnya saya tidak melihat ada kejanggalan di sana. Akan tetapi, untuk memastikan, saya bertanya lagi kepada lelaki di hadapan saya itu, “Apa benar?”
“Oh, tidak, Pak. Itu teman saya. Kami tidak melakukan apa pun,” jawabnya.
“Apa maksudnya kalian tidak melakukan apa pun?” cecar saya.
Hening beberapa saat.
“Kalau dengan … [ia menyebutkan sebuah nama], saya pernah tidur bersama, Pak.”
Sang istri seketika bangkit dari duduk dan menampar suaminya berkali-kali. Segelas air mineral ditumpahkannya ke wajah sang suami.
“Kurang ajar kamu, ya! Sekarang baru ngaku. Dulu-dulu kalau ditanya kamu bilang hanya jalan bareng saja!”
Umpatan demi umpatan tanpa henti berhujanan dari mulut perempuan itu. Ia menangis sambil terus memaki.
Saya kemudian melerai mereka dan meminta sang suami untuk keluar sejenak. Dari pembicaraan kami kemudian, saya mencatat setidaknya ada tiga pelajaran yang bisa kita ambil di balik prahara pernikahan mereka.
1. Awal yang Buruk Menuai Kemelut
Setelah agak tenang, si istri mulai berbicara kembali. Ia mengungkapkan banyak hal mengenai pernikahan mereka.
Mereka memasuki pernikahan meski awalnya berbeda keyakinan. Si istri mengalah, mengikuti kepercayaan suami. Keputusan itu diambilnya karena ia hamil. Mereka melakukan hubungan suami istri sebelum menikah. Ia tidak mau menggugurkan janin dalam kandungannya, tetapi juga tidak mau berpisah dengan sang suami – pacarnya waktu itu. Akhirnya ia memutuskan pergi meninggalkan keluarga dan menikah dengan lelaki itu.
Awalnya pernikahan mereka berjalan baik. Namun, setelah beberapa bulan menikah, sang suami mulai menunjukkan watak aslinya.
“Sesungguhnya saya tidak pernah mengenal dia dengan baik, Pak,” ucapnya.
2. Lagi-lagi, Uang
“Suami saya banyak pergi, Pak. Alasannya selalu karena pekerjaan. Tetapi yang dia lakukan malahan main gila sama wanita lain!”
Saya mencoba mengonfirmasi pernyataan itu kepada sang suami. Ia pun memberikan pembelaannya. Dari sisinya, ia merasa sudah berjerih lelah mencari uang untuk menafkahi keluarga, tetapi istrinya tidak pernah mau menghargai hasil yang didapatkannya.
“Dia selalu merasa kurang, Pak. Selalu ada saja alasan untuk meminta uang lebih kepada saya.”
Baca Juga: Bukan Sekadar Pencari Nafkah tetapi Ini: 3 Peran Terpenting Pria yang Sering Kali Terlupakan
3. Seks
Suami merasa bahwa dirinya hanya dianggap seperti kacung saja.
“Saya tidak pernah dikasih, Pak …” begitu kira-kira ia mengatakannya.
Setiap kali sang suami menginginkan hubungan suami-istri, istrinya selalu menolak dengan berbagai alasan. Apalagi setelah anak kedua mereka lahir, ia mengaku tidak pernah lagi disentuh oleh istrinya. Kebutuhan yang tidak terpenuhi itulah yang dijadikan pembenaran baginya untuk kemudian berselingkuh.
Perbincangan kami usai sore itu, walau permasalahan masih jauh dari selesai bagi mereka. Dari prahara yang melanda pernikahan pasangan itu, saya belajar hal penting ini:
Jika pernikahan tidak diawali dengan baik, maka kita harus bersiap menuai sebuah kemelut. Lalu, apakah berarti pernikahan yang dimulai dengan baik pasti akan berjalan mulus? Tidak demikian, tentu.
Akan tetapi,
Jika kita meyakini pernikahan adalah ibadah, mengapa kita memulainya dengan cara yang salah? Share on XTanpa membatasi cinta kita kepada pasangan, cinta tetaplah memerlukan pengenalan.