Pulang kerja sore itu saya memenuhi janji untuk bertemu dengan Elina yang sejak tiga tahun lalu meninggalkan Kota Surabaya demi masa depan yang lebih baik. Dua paket makanan telah tersedia di hadapan kami. Saya yang sudah merasa lapar sejak beberapa jam sebelumnya segera saja menikmati makanan tersebut sembari bercakap-cakap.

“Alasan saya mengajak Mbak untuk bertemu sore ini, saya ingin minta maaf karena selama ini sudah membohongi Mbak.”

“Membohongi bagaimana?” rasa penasaran saya seketika menyeruak.

“Kedatangan saya empat tahun lalu ke Surabaya adalah sebuah pelarian. Saya sebenarnya sudah menikah dan sudah memiliki seorang anak perempuan. Dia sekarang berusia enam tahun.”

Saya ternganga.

Bagaimana bisa dia tidak jujur? Empat tahun lalu Elina mengaku masih lajang. Saya dan beberapa orang teman bahkan mendoakan supaya dia segera menikah. Ohhhh … What a surprise …

“Mengapa kamu melarikan diri? Melarikan diri dari apa?”

“Dari suami saya, Mbak.”

“Mengapa?”

“Saya sadar telah melakukan kesalahan. Saya hamil sebelum menikah. Hubungan berpacaran dengan pacar yang sekarang jadi suami saya itu terlampau jauh. Saya menikah karena ‘kecelakaan’,” lanjutnya lirih.

“Apa yang terjadi kemudian?” tanpa sadar minuman saya sudah habis hingga setengahnya.

 

“Setelah putri pertama saya lahir, suami saya mulai berubah. Dia sayang dengan anak perempuannya, tapi tidak dengan saya. Dia tidak peduli dengan kondisi rumah tangganya. Yang dia pedulikan hanya dirinya sendiri. Dia lebih mengutamakan membeli pulsa untuk handphone-nya dibandingkan membeli susu untuk anaknya. Setiap bulan, suami saya hanya memberikan uang sebesar Rp300.000,00 untuk kami bertahan hidup.

Sekarang Mbak bayangkan, saya harus mengatur kebutuhan rumah tangga hanya dengan uang sejumlah itu. Meskipun ada beberapa orang baik yang membantu kami secara finansial, tapi semua itu tetap tidak cukup. Saya lantas bekerja supaya kami semua bisa makan.

Suami saya bukan hanya memedulikan diri sendiri. Dia juga mulai bersikap kasar kepada saya. Kata-kata makian hampir tiap hari saya terima. Tidak hanya itu, dia juga melakukan kekerasan fisik pada saya. Beberapa kali saya digamparnya.

Tiga tahun saya mencoba bertahan. Hingga pada satu titik saya menyerah. Saya memutuskan untuk meninggalkannya dengan pergi ke Surabaya. Itulah waktu di mana saya bertemu dengan Mbak dan komunitas yang ada di sini.”

Makanan di piring kami sudah habis. Tinggal minuman yang masih tersisa, menunggu dihabiskan. Sembari mendengarkan cerita Elina, pikiran saya turut terhanyut membayangkan jika saya yang ada di posisinya. Dalam hati saya bertanya-tanya, mengapa Tuhan izinkan Elina mengalami kondisi seberat itu.

 

“Kurang dari enam bulan saya mulai tenang di Surabaya, suami saya berkali-kali meminta saya kembali untuk kembali hidup bersama. Dia meyakinkan saya bahwa dia memiliki pekerjaan yang lebih baik. Awalnya saya menolak, karena saya sulit untuk percaya lagi kepadanya. Namun, didorong rasa kangen pada putri saya, akhirnya saya luluh dan mengiyakan permintaannya.

Itulah sebabnya saya pinjam uang dari Mbak sebesar Rp200.000,00 untuk ongkos pergi ke Jawa Barat. Setelah saya kembali menjalani kehidupan dengan suami saya untuk kali kedua, ternyata saya tidak merasakan adanya perubahan yang berarti. Semua kata-katanya bohong belaka. Dia memang bekerja, tapi sikap mementingkan diri sendirinya tidak berubah. Dia justru memanfaatkan kepulangan saya demi menyakiti saya lebih lagi.

Kondisi yang sama tetap saya rasakan sampai akhirnya saya hamil anak kami yang kedua. Ketika hamil, saya pernah dipukul dengan keras di bagian perut ketika dia sedang marah. Intinya, dia menantang, apakah dengan kondisi hamil saya bisa hidup sendiri tanpa dia.”

Elina bercerita dengan tubuh gemetar. Amarah dan kegeraman tampak di wajahnya ketika menceritakan perlakuan suaminya.

“Demi menyambung hidup, saya pun bekerja. Pekerjaan yang saya lakoni mengharuskan saya naik turun tangga. Saat kehamilan saya semakin besar, saya berhenti karena tidak sanggup lagi melakukan pekerjaan itu. Suami saya tidak memiliki pekerjaan sehingga kondisi keuangan kami memburuk. Saya bahkan harus meminjam uang dari tetangga-tetangga supaya kami bisa makan. Perlakuan kasar pun masih saya terima dari suami saya.

Ketika melahirkan anak kedua, saya sudah habis-habisan. Saya putus asa dan tidak tahu harus berbuat apa. Suami saya mendapat tawaran untuk bekerja di luar pulau dan dia akan mengajak putri pertama saya. Dia katakan bahwa akan ada keluarga yang merawatnya. Saya tidak keberatan asalkan bayi saya bersama-sama dengan saya. Ini jadi momentum buat saya. Saya tidak ingin melihat suami saya lagi. Saya sudah lelah menerima baik siksaan fisik maupun psikis. Ini adalah kesempatan baik untuk saya berpisah dengannya untuk yang kedua kalinya.

Suami benar-benar meninggalkan saya.

Saya harus berjuang sendiri dengan bayi saya. Tidak ada uang sama sekali. Saya bahkan tidak mampu membeli susu. Putra saya sangat kurus dan kurang gizi.

Tampaknya suami saya benar. Saya tidak mampu hidup sendiri tanpanya.

Mbak kan ingat, saya ini dulu besar di panti asuhan karena keluarga saya tidak mampu menghidupi saya. Tanpa berpikir panjang, saya memutuskan kembali ke Surabaya, pergi ke panti asuhan. Saya bertekad menyerahkan anak saya di panti asuhan tersebut.

Hari terakhir saat saya menimang bayi saya, kondisinya sakit dan tubuhnya begitu kurus. Hati ibu mana yang tidak hancur melihat bayinya menderita, Mbak? Share on X

Dokter yang berjaga di panti asuhan itu berkata, ‘Jika kamu terlambat satu hari saja membawa anakmu kemari, maka bisa dipastikan anakmu sudah tidak bernyawa.’

Seakan semuanya belum cukup menyedihkan,

seminggu setelah menyerahkan anak saya di panti asuhan, satu-satunya handphone yang saya miliki hilang. Padahal, dalam handphone itu tersimpan seluruh foto anak saya. Satu-satunya kenang-kenangan yang bisa mengingatkan saya kepada mereka semua.”

Terbata-bata, Elina mengucapkan kalimat terakhir itu. Ia terisak. Wajahnya memerah. Saya sodorkan sebungkus tisu untuk menghapus lelehan air dari sudut matanya.

 

“Saat kamu menyerahkan anakmu ke panti asuhan, apakah kamu menandatangani surat perjanjian yang menyatakan kesediaanmu apabila sewaktu-waktu ada keluarga yang akan mengadopsi anakmu, kamu tidak akan mempermasalahkannya?”

“Iya, Mbak. Benar. Ketika saya menyerahkan anak saya di panti asuhan itu, maka panti asuhan itu berhak menyerahkannya kepada keluarga lain yang bersedia mengadopsinya. Akan tetapi, jika suatu hari nanti saya sudah punya kehidupan yang lebih baik, saya berjanji saya akan mengambil kembali anak saya. Sekarang ini, tujuan saya hanya satu: Saya akan mencari pekerjaan, mengumpulkan uang, supaya suatu hari nanti saya bisa mengambilnya kembali.”

Saya hanya bisa memandangi wajahnya yang sembab. Tak satu solusi pun muncul di pikiran saya. Saya lalu menggenggam kedua tangannya dan berkata, “Mari kita berdoa untuk semua masalahmu dan tetap berpengharapan bahwa Tuhan akan mewujudkan apa yang kamu inginkan.”

Dalam perjalanan pulang ke rumah, di atas sepeda motor saya merenungkan kisah Elina. Begitu ragam liku kehidupan yang dilakoni setiap orang. Jika saya berada di posisinya, belum tentu saya bisa setegar itu menjalaninya.

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here