“Maaf, ya, Mama Salomo. Tadi anak saya menendang Salomo sehingga mulutnya berdarah,” ucap seorang mama yang datang menghampiri saya saat saya menjemput anak saya di sekolah.
Terus terang, saya panik. Segera saja membayang di pikiran luka sedemikian rupa yang diderita anak saya.
Ternyata lukanya tidak terlalu besar. Tidak separah yang saya khawatirkan. Akan tetapi, mama tersebut sangat menyesali perbuatan anaknya. “Tidak apa-apa, Mam. Namanya anak-anak,” begitu saya mencoba menenangkannya. Namun, kata-kata saya itu tampaknya tidak cukup menghapus rasa bersalahnya. Ia masih saja meminta maaf berkali-kali kepada saya.
Anaknya, yang menendang Salomo, kemudian juga mendatangi saya bersama mamanya dan meminta maaf. “Ga apa-apa, Sayang. Lain kali hati-hati, ya, saat bermain bersama,” ucap saya kepadanya.
Dalam perjalanan pulang saya bertanya kepada Salomo, “Kamu marah sama temanmu yang sudah menendangmu hingga mulutmu berdarah?”
Dia menjawab, “Bisa dibilang, iya.”
“Kamu ingat Sabtu kemarin? Waktu kamu menangis karena dilukai teman yang lain? Siapa yang menghiburmu dengan cerita lucu?” tanya saya.
Dia menyebut nama teman yang tadi menendangnya.
Kembali saya bertanya, “Berarti, kan, temanmu sebenarnya baik, kan, sama kamu? Tadi itu dia khilaf, tidak sengaja ketika menendang kamu.”
Hening. Tidak ada jawaban.
“Jadi, bagaimana sekarang? Dimaafkan atau tidak? Kalau Mama pasti mengajarkan kamu memaafkan.”
Salomo kemudian menjawab bahwa ia sudah memaafkan temannya karena temannya sudah baik kepadanya sebelumnya. Saya tegaskan kembali kepadanya, meskipun temannya kadang bisa saja menyakitinya tetapi ia harus tetap memaafkan dan bersikap baik kepada temannya.
Bukan sekali ini Salomo pulang dengan keluhan disakiti oleh teman. Pernah sekali ia pulang dengan memar di bawah mata. Awalnya ia tak mau bercerita. Ia takut. Ia takut bukan karena dilukai, tapi karena ia tahu, ia juga bersalah sehingga ditonjok oleh temannya. Saya kemudian meyakinkannya, ia harus tetap bercerita kepada saya, bagaimanapun juga kejadiannya.
Sejujurnya, sesak juga dada ini mendengar ceritanya kala itu. Teman yang menyebabkan memar di bawah matanya itu bukan baru sekali ini menyakitinya. Akan tetapi, saya pikir, jika anak saya sudah menyelesaikan persoalannya di sekolah dengan temannya – katanya mereka sudah bermaafan – maka buat apa saya ikut campur lagi dalam masalah mereka. Saya hanya berpesan agar ia lebih berhati-hati ketika berinteraksi dengan temannya supaya tidak membahayakan dirinya sendiri ataupun temannya.
Sekali waktu, ia juga pernah dipukul temannya dengan penggaris hingga berdarah. Jujur saja, saya tidak suka anak saya dipukul oleh siapa pun juga. Sebagai mamanya, ingin sekali rasanya saya maju dan memberi pelajaran kepada temannya itu. Namun, saya berusaha menahan diri. Saya ingin anak saya belajar menyelesaikan permasalahannya sendiri.
Bukannya saya tidak peduli anak saya terluka. Saya bahkan sering menangis jika menemukan luka atau memar di badannya. Akan tetapi, jika saya terlalu menjagainya dan selalu maju untuk menyelesaikan masalahnya dengan temannya, lantas kapan anak saya akan belajar menyelesaikan masalahnya sendiri?
Saya yakinkan anak saya bahwa saya sangat menyayanginya. Saya katakan kepadanya, saya sedih jika ia pulang dengan luka atau cerita tidak menyenangkan dari sekolah. Meskipun demikian, apa pun yang dihadapinya di sekolah, ia harus berusaha terlebih dahulu untuk menyelesaikannya sendiri.
Saya ajarkan kepadanya, kalau ada teman yang mengatakan sesuatu yang membuatnya jengkel, ia harus menegur teman itu baik-baik. Kalau teman itu terus saja melakukannya, ia perlu melapor kepada guru. Begitu juga kalau ada teman yang melukai, ia harus melapor kepada guru. Ia tidak boleh membalas menyakiti apalagi melukai teman. Dan apa pun yang terjadi di sekolah, ceritakanlah selalu kepada mama dan papa.
Seberapa pun kerasnya kita berusaha, kenyataannya kita tidak akan pernah bisa melindungi anak kita 24 jam tanpa lengah. Selain memberikan nasihat dan selalu peduli dengan apa pun yang terjadi dengannya di sekolah – biasanya setiap pulang sekolah saya selalu menanyakan kepadanya, “Bagaimana perasaanmu hari ini? Sedih atau senang?”, yang utama adalah ini: Saya selalu mendoakan dia dan menyerahkan dia ke dalam pemeliharaan Tuhan. Saya percaya penjagaan Tuhan atas anak saya jauh lebih sempurna daripada penjagaan saya sendiri.
Melindungi anak tidak berarti harus selalu turun tangan dan ikut campur dalam setiap masalah anak. Share on XSebelum melakukan apa pun, saya selalu memastikan terlebih dahulu apakah insiden itu membahayakan dirinya atau pada temannya. Saya bersyukur sampai hari ini itu tidak terjadi dan saya selalu memohon kepada Tuhan agar itu tidak pernah terjadi.
Setelah itu, saya baru akan menanyakan kepada anak saya bagaimana proses penyelesaikan masalah dengan temannya. Jika ia mengatakan bahwa permasalahan sudah selesai, apalagi mereka sudah saling memaafkan, bagi saya masalah itu pun selesai. Anak-anak kita selalu bisa lebih cepat menyelesaikan masalah tanpa banyak drama, saya belajar untuk tidak perlu terlalu mendramatisasi suasana dari mereka.
Jika anak-anak kita mampu menyelesaikan sendiri permasalahan mereka dengan baik, maka kita telah berada di lintasan yang benar dalam perjalanan kita sebagai orang tua.
Melindungi anak berarti mendorong dan mengajari mereka bagaimana mengatasi permasalahan mereka sendiri dengan baik. Dan di atas semuanya itu, berarti menyerahkan anak kita dan segala upaya kita kepada Tuhan.