“Wajarkah menurutmu, anak sendiri disia-siakan, sementara anak orang lain disekolahkan sampai ke luar negeri?” keluh Pak Toni.

Usianya tak lagi muda, bahkan mendekati usia seorang kakek. Namun dalam hatinya yang terdalam, ia sangat terluka sebagai anak. Selama puluhan tahun, luka itu terus menganga. Bukan hanya di hatinya, melainkan juga di hati saudara-saudaranya.

Usia ayah Pak Toni sudah 90 tahun. Bau tanah sudah melekat walau secara fisik bisa dibilang ayah Pak Toni masih sehat. Masih bisa jalan sendiri walau pakai tongkat. Masih bisa membaca koran berbahasa mandarin walau dibantu kacamata. Namun, Pak Toni dan saudara-saudaranya tidak berbangga dengan kondisi ayah mereka. Malahan mereka semua kesulitan mengasihinya dengan tulus.

DURHAKA! Begitu kata sang kakek setiap kali merasa tidak dicintai. Namun kalau mau jujur, bukan anak cucunya yang durhaka. Mereka hanya tak pernah dikasihi oleh sang kakek dan tidak tahu juga cara mengasihinya.

Tadinya, saya sempat kasihan pada kakek ini. Apalagi kalau melihat betapa tua dan tidak berdayanya dia. Makin hari hidup makin bergantung pada orang lain. Sementara itu, tak satu pun anak cucu yang dapat dipercayainya.

Ketika mendengar kisah hidupnya, saya merasa bahwa apa yang dialaminya di hari tua hanyalah tuaian dari masa mudanya. Apa yang ia lakukan pada anak-anak saat muda, kini dituainya di hari tua.

Perceraian yang Tak Terhindarkan, Anak-Anak pun Kekurangan Kasih Sayang

Tidak tahan dengan suaminya, almarhumah nenek menggugat cerai. Ia tak peduli anak-anaknya dicap yatim, tak berayah. Asal bisa putus hubungan dengan suaminya.

“Saya masih umur 7 tahun waktu itu,” kenang Pak Toni. “Mau tidak mau harus rela dititipkan ke sana sini. Tidak semua orang suka dititipin anak orang.”

“Ibu Anda?” tanya saya penasaran.

Bukankah bagi seorang ibu, anak-anak adalah segalanya? Sering kali kelihatannya lebih mudah bagi seorang ibu untuk kehilangan suami daripada kehilangan anak.

“Menikah lagi,” jawabnya. “Membangun impiannya tentang pernikahan. Sebagian anak dibawanya, sebagian lagi tetap ikut Papa.”

“Pak Toni sendiri ikut siapa?” saya memberanikan diri bertanya.

“Papa,” jawabnya pedih. “Dia tidak pernah mengurus anak-anaknya. Sibuk bekerja dan menggunakan uangnya untuk pacar-pacarnya.”

“Berarti yang ikut kakek lebih susah ya?” tanya saya, berhipotesis.

Pak Toni menggeleng. “Tidak juga, saudara-saudara saya masing-masing punya cerita sedihnya sendiri. Semuanya pernah ikut Papa saya. Apalagi setelah Mama meninggal.”

Pria yang sudah pensiun itu kemudian berkata bahwa orang seperti ayahnya tidak seharusnya menikah. “Anak-anak yang jadi korban,” begitu katanya dengan tatapan mata nanar.

Bukan Ayah Biasa: Lebih Cinta Anak Orang Lain

Bagaimana seorang anak tidak iri hati jika perhatian dan kasih sayang yang harusnya ia dapatkan justru diberikan pada orang lain?

“Kami tidak pernah mengerti apa sebabnya anak orang lain begitu dicintai oleh Papa, sementara kami tidak,” ungkapnya lagi. “Sampai suatu hari kami menyadari bahwa Papa ternyata seorang homoseksual. Dia cinta pria lain.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here