Hotel Mulia, Jakarta.
“Babe, bantuin tarik ritsletingnya, dong,” kata Livi.
“Kenapa Lisbeth enggak jadi married di Bali?” tanya Simon. “Kalau jadi, kita sekalian ke Bali.”
“Bu Euis tiba-tiba sakit, kata dokter jangan terbang-terbang dulu. Lisbeth enggak mau kalau enggak ada Bu Euis. Bryan kagak mau tanggalnya dimundurin.”
“Mana mau, lah, dia, horny begitu,” ujar Simon.
Livi langsung cemberut. “Masih enggak rela aku, Lisbeth married sama cowok kayak gitu.” Tangannya memasang anting berlian di kedua telinganya. Setelah selesai, Livi berbalik dan bertanya kepada Simon, “Gimana, Babe? Bagus?”
Simon memandang Livi yang mengenakan A line gown brokat berwarna pink muda dengan aksen batu-batu putih di pinggangnya. Ia tersenyum. “Mau jawaban jujur?”
“Iya dong. Aku gendut, ya?” tanya Livi khawatir.
“You look better when you wear nothing.” Simon mengerling.
Livi memelotot. “Ngatain orang lain horny, sendirinya juga begitu! Hao se!”
Simon tertawa. “Habis kemarin malam masa kamu tinggalin aku tidur sendiri?”
“Lisbeth kan minta ditemenin. Girl talks.” Livi meraih Jimmy Choo Sweetie Glitter clutch bag-nya.
“Kamu ajarin apa?” goda Simon lagi.
Livi memutar mata. “Aku ajarin kalo Bryan macem-macem tinggal tendang aja. Lisbeth masih inget taekwondo, kok,” sungut Livi.
Simon memeluk Livi. “Let it go, Babe. Today is their wedding day.”
Wajah Livi berubah sendu. “Kamu tahu enggak… kemaren Lisbeth tanya apa? How does it feel? Is it painful? Aku nyaris lho, mau jawab, ‘Jangan khawatir, Bryan tau kok harus ngapain,’ dengan nada sinis. Untung aku waras, Babe. Aku cuman jawab, ‘You’ll be fine.’“ Suara Livi serak. Ia mengerjapkan mata menahan tangis.
“Dari kecil, Papi Mami selalu bilang, ‘Livi, kamu harus jaga Lisbeth sama Liona.’ Terus hari ini … mestinya aku seneng karena Lisbeth married. Aku selalu bayangin, how happy I am kalau Lisbeth ketemu dengan someone that loves her, will protect and cherish her sama kayak selama ini kita sayang sama Lisbeth.” Livi menggigit bibirnya. “Why … Lisbeth chose someone like … him? Orang kayak Bryan tau apa soal cinta? Kerjanya main cewek.” Livi mendengus. Ia menghela napas panjang. “Aku masih enggak rela. Takut aku, Babe, kalau Bryan cuman mainin Lisbeth atau … hehhh … Ini Lisbeth.”
“Tenang aja, mereka kan tinggal di paviliun belakang rumah kamu. Bryan enggak bakal berani macam-macam. Papi sekali ‘ahem’ aja, pasti udah langsung diem dia,” hibur Simon.
Livi tidak menjawab dan berjalan keluar dari kamar hotel mereka. Hari yang mestinya bahagia sayangnya tak demikian.
***
The Earl Suite, Hotel Mulia.
“Yak … lampunya dong diminggirin,” kata fotografer yang sedang sibuk mengambil gambar baju pengantin Lisbeth, off shoulder mermaid dress with crystal applique.
“Tile-nya panjang banget, ya,” komentar seorang kru. “8 meter katanya.”
Klik! Di dalam bridal suite, fotografer, videografer, dan kru mondar-mandir. Heni dan beberapa tante juga sibuk ke sana kemari.
“Makeup-nya dah kelar,” kata seorang WO. “Permisi, pengantinnya mau ganti baju dulu, ya.”
Suite yang tadinya riuh rendah mendadak menjadi kosong. Dua pegawai bridal membantu Lisbeth mengenakan baju pengantinnya.
Dari luar, ia tampak tenang, tetapi sebenarnya, hatinya berdebar. Apakah ini sungguhan? Ia melirik cermin di hadapannya. Ya, itu dirinya, memakai baju pengantin. Gaun pengantin yang ia jahit berbulan-bulan. Pipinya memerah. Ini benar-benar hari pernikahannya! Beberapa pertanyaan terlintas di benaknya. Bagaimana jika ia lupa janji nikahnya? Bagaimana jika ia tersandung? Ah, tidak … tidak. Lisbeth berusaha untuk memikirkan yang baik-baik.
Wim dan Heni masuk ke ruangan. Mereka bersiap untuk prosesi tutup cadar.
Lisbeth berjalan ke arah Wim saat ia melihat papinya hendak mengenakan jas. “Papi, Lisbeth bantu pasang dasi, ya?”
Wim tersenyum dan mengangsurkan dasi ungu ke tangan Lisbeth.
Wim memandangi Lisbeth yang sedang sibuk memasangkan dasinya. Ingatannya kembali ke masa ketika Lisbeth baru lahir, ketika mereka tahu Lisbeth Tuli, hari-hari ketika Heni terus menangis. Mak Kintan, ketegangan dengan mamanya, Bu Euis, hari-hari Lisbeth sekolah, hari ketika Lisbeth berhasil mengucapkan semua fonem, ketika Lisbeth SD dan diwisuda, Lisbeth lulus SMA, Lisbeth kuliah lalu diwisuda. Kini, tugas Wim hampir selesai. Rasa haru, sedih, dan bangga membuncah dalam hati Wim.
“Sudah, Papi.” Lisbeth menepuk bahu papinya. Lisbeth merapikan sedikit wedding gown-nya. “Bagus, Papi?”
Sekelebat, Wim melihat Lisbeth kecil yang mengenakan pakaian baru di hari ulang tahunnya. Wim mengerjap, bayangan itu lenyap. Lisbeth dewasa yang ada di hadapannya.
Senyum penuh haru mengembang di bibirnya. “Anak Papi paling cantik, dong.”
“Oom, siap-siap untuk prosesi pemberian buket dari mempelai pria, ya.” Suara WO mengagetkan Wim. “Lalu Tea Pai.”
“Ya… ya.”
***
Tea Pai (Tea Ceremony).
Tea Ceremony atau teapai sering disebut sebagai teh termahal. Secangkir teh, ditukar dengan angpao atau perhiasan emas. Mempelai memberikan secangkir teh kepada para tetua keluarga sebagai tanda penghormatan. Para tetua akan memberikan angpao atau perhiasan emas sebagai tanda mereka merestui pasangan pengantin baru.
“Tea set-nya hati-hati. Dari Jepang,” bisik seorang gadis anggota WO kepada temannya.
“Buset … Tea set aja impor dari Jepang. Biasa, kan, dari Petak Sembilan.” Gadis kedua memeriksa gelas teh kecil berwarna putih dengan semburat garis-garis emas di sekeliling cangkir dan pocinya.
Gadis kedua membawa nampan dengan enam gelas dan satu poci teh. Lisbeth dan Bryan sudah berganti pakaian. Lisbeth mengenakan cheongsam merah body fit dengan aksen backless di punggungnya. Sedangkan Bryan kemeja sutra merah dengan bordir naga emas.
“Oke, kita mulai dari papa-mama mempelai pria,” ujar seorang pemuda anggota WO yang bertugas sebagai MC. Tea pai dimulai dari orang tua keluarga mempelai pria, lalu para tetua. Baru kemudian ke pihak keluarga mempelai wanita.
Lisbeth dan Bryan berdiri di hadapan Ah Liong dan Mei Hwa, mereka saling memberikan tanda pai pai. Ah Liong dan Mei Hwa duduk. Lisbeth sebagai menantu memberikan teh kepada Ah Liong dan Mei Hwa.
Ah Liong menerima cangkir teh dari Lisbeth dan meminumnya. Mei Hwa mengalungkan kalung emas dengan liontin shuang xi bertatahkan berlian. Ah Liong menyelipkan sebuah amplop tebal ke saku kemeja Bryan. Setelah beberapa saudara papa mama Bryan selanjutnya WO memanggil kakak Bryan.
“Kakak mempelai pria, Ko Benny dan Ci Vina.”
Benny dan Vina duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Ah Liong dan Mei Hwa. Lisbeth memberikan cangkir-cangkir teh kepada Benny dan Vina. Jemari Vina menelusuri garis-garis emas di cangkirnya. Ia tersenyum lebar dan memandang Lisbeth. Mata mereka bertemu. Kintsugi.
Setelah meminum tehnya, Vina berdiri dan memasangkan gelang emas di tangan Lisbeth. Dengan tangannya, Vina berbicara dengan Bisindo, “Kakak – keluarga.”
Lisbeth memeluk Vina erat-erat.
Setelah semua keluarga senior yang sudah menikah dari papa-mama Bryan mendapat teh, berikutnya giliran Bryan yang menyajikan teh kepada keluarga Lisbeth.
“Papi … Mami ….” Bryan memberikan cangkir kepada Wim dan Heni satu per satu. Wim dan Heni meminum teh mereka. Wim memberikan angpao merah kepada Bryan dan Heni mengalungkan kalung emas kepada Lisbeth. Suasana berubah tegang ketika Simon dan Livi menggantikan Wim dan Heni. Lisbeth menatap wajah Livi yang tampak kusam. Livi memaksakan senyum ketika pandangan mereka beremu, tetapi senyum itu lenyap ketika ia melihat Bryan.
Lisbeth menyaksikan Bryan memberikan cangkir kepada Simon. “Jie fu,” panggilnya. Jie fu, panggilan untuk suami dari kakak perempuan. Simon tersenyum dan menerima cangkir teh dari tangan Bryan.
Berikutnya, untuk Livi. Lisbeth melihat tangan Bryan sedikit bergetar. Bryan mengangsurkan cangkir ke hadapan Livi. “Ci,” sapa Bryan. Livi menerima cangkir itu dan meminumnya dalam sekejap. Masih tanpa senyum. Livi lalu memasangkan seuntai kalung mutiara ke leher Lisbeth yang kini penuh dengan untaian kalung.
“Thanks, Ci,” ujar Lisbeth. Livi memaksakan senyum dan mengelus pipi Lisbeth. Namun, ia tidak mengatakan apa-apa. Tidak ada selamat, tidak ada congrats. Lisbeth melirik Simon memberikan angpao dan menjabat tangan Bryan. Simon lalu menghampiri Lisbeth dan memeluknya. “Congrats,” ucap Simon dengan ASL. Bryan mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Livi, tetapi Livi membiarkan tangan Bryan menggantung di udara dan sengaja membalikkan badan membelakangi Bryan. Hati Lisbeth tergores. Ia mendapati wajah suaminya memerah dan buru-buru menarik tangannya.
Bagi Lisbeth, selain Papi Mami, Livi adalah sosok penting, yang ada ketika dia lahir, dan terus ada. Mengajarinya, melindunginya, tertawa dan menangis bersama. Hari ini, Lisbeth ingin mereka tertawa bersama, tetapi sepertinya itu impian yang terlalu muluk. We can’t get everything we want, right? Lisbeth meremas tangan Bryan.
***