“Kita ini seperti orang najis,” komentar Mama setelah diantar ke ruang isolasi pasien Covid di rumah sakit, sehari setelah saya masuk lebih dulu. Untuk menuju ke ruangan, pasien diminta duduk di kursi roda dengan penutup plastik, mirip becak yang dengan plastiknya saat musim hujan, tapi tentu saja lebih tertutup rapat.
Saya merasa bersalah telah menularkan virus Covid-19 pada Mama. Seharusnya sore itu saya tidak mampir ke apartemennya untuk mengadukan tenggorokan yang mulai gatal. Sama sekali tanpa curiga kalau sudah terinfeksi. Jadi saya minta maaf. Gara-gara saya, Mama jadi sakit. Seandainya waktu itu saya langsung pulang ke rumah, pasti Mama tidak akan tertular.
“Tidak apa-apa,” jawab Mama tulus. Tidak menyalahkan saya sama sekali. “Memang Mama harus menemani kamu.”
Bagi Mama, tidak masalah ikutan sakit asal bisa bersama dengan anaknya. Beberapa minggu sebelumnya, adik saya sempat sakit. Mama pun langsung mengajak saya menjenguk. Mengingat gejala yang disebutkan, saya justru mencegah Mama datang. “Mama nggak takut? Nanti kalau ternyata positif bagaimana? Kita bisa tertular loh.”
Dengan berat hati Mama setuju. Sedikit pun dia tidak takut. Tampaknya Mama lebih takut tidak bisa melihat anaknya yang sedang sakit ketimbang tertular virus. Untungnya, hasil tes adik saya negatif.
Kejadian yang sama terulang ketika saya mulai demam karena terinfeksi Covid. Beberapa kali beliau menawarkan diri untuk mengantar, tanpa tahu bahwa dirinya sendiri sudah terpapar virus yang sama. Ketika muncul dua garis pada alat swab antigen, Mama masih tetap berharap bisa mengantar saya ke dokter. Tak ada sedikit pun rasa takut.
Mama memakai masker ganda, masih ikut mengantar saya ke IGD untuk masuk diisolasi. Bahkan, beliau sempat membeli seporsi bubur ayam untuk saya santap sambil menunggu proses administrasi RS yang panjang. Dari balik kaca ruang isolasi beliau menunggu, memberikan senyuman untuk menyemangati saya yang lemah.
Siapa sangka, esok harinya Mama pun menyusul dirawat. Pihak rumah sakit mengizinkan kami dirawat di kamar isolasi yang sama.
Setiap kali dokter datang berkunjung, Mama akan menyampaikan keluhan saya terlebih dahulu. “Semalam dia tidak bisa tidur,” begitu katanya pada dokter. “Sakit saat menelan,” keluhnya pada dokter. Lagi-lagi tentang saya, bukan dirinya. “Batuknya parah,” ujarnya pada hari yang berbeda. Padahal beliau juga punya keluhan dan kesakitan. Namun, setiap kali dokter datang berkunjung, beliau akan menyampaikan keluhan saya lebih dulu.
Setelah seminggu dirawat di ruang isolasi rumah sakit, kami memutuskan untuk pulang. Dokter juga sudah memberi izin melanjutkan isolasi secara mandiri. Ketika mengantar Mama pulang ke tempat tinggalnya, kami berpapasan dengan seorang tetangga. Tetangganya tampak terkejut melihat Mama, lalu bergegas pergi.
“Sepertinya dia takut,” ujar Mama, memaklumi sikap tetangga baiknya itu. Terlebih, Mama sudah memberi kabar pada si tetangga bahwa dia akan pulang, tapi belum bisa ngobrol dan makan bersama seperti biasa dengannya.
Lanjut isoman membuat Mama merasa sedih; tidak ada yang berani datang. Padahal biasanya, tetangga dan teman-teman suka datang berkunjung. Beliau pun harus menunggu hingga genap 10 hari masa isolasi berlalu atau hasil PCR negatif.
Saya memahami kesedihannya. Tidak enak rasanya melihat seorang yang begitu dekat dengan kita, kini menjauh karena takut.
Di tengah kegundahan itu, saya malah melihat Mama tidak kenal takut. Terlebih saat tahu anak-anaknya sakit. Cinta membuatnya berani mengambil risiko. Tertular tak membuatnya gentar dan undur untuk berada di samping kami yang sedang lemah.
“Kamu nggak takut?” tanya saya pada suami yang mengantar ke rumah sakit dan juga menjemput seminggu kemudian. Selama saya diisolasi di rumah sakit, suami terpaksa tinggal serumah dengan mertua dan ipar saya yang juga positif Covid. Hanya dia satu-satunya yang negatif.
“Ya takut, lah,” jawabnya, tapi tetap ada di sisi saya. “Aku kan nggak seberani kamu.” Memang benar katanya, tiap orang punya kadar keberanian yang berbeda. Namun, cinta juga mampu menembus batas keberanian itu.
Saya makin yakin, bahwa cinta punya kekuatan mengalahkan ketakutan. Dan di sanalah cinta seorang ibu bersinar paling terang.





