LDR tidak pernah menjadi pilihan yang nyaman bagi siapa pun. Jarak yang memisahkan satu sama lain bisa memicu banyak hal. Apalagi jika terpisah zona waktu yang ekstrem, proses adaptasi bisa jadi semakin panjang.

Saya dan pasangan baru saja menjalani LDR dengan selisih waktu 12-13 jam. Dalam beberapa kesempatan, saya bercengkerama dengan para sejoli yang pernah menjalani LDR. Dan pergumulan mereka hampir sama; yang ditinggal akan merasa sedih, mellow, nangis-nangis di bulan-bulan awal, dan berusaha mencari kesibukan untuk menghalau overthinking di masa LDR.

Saya pun tidak luput dari hal ini. Dua tahunan bertumbuh dalam relasi yang baik, tidak pernah saya menyangka akan sedramatis ini menghadapi LDR. Padahal, saya sudah konseling untuk mempersiapkan diri. Pasangan saya juga sudah berusaha semaksimal mungkin untuk meredam overthinking saya dan selalu berusaha hadir sesering mungkin sebelum LDR. Namun, memang ketika kejadiannya sudah di depan mata, banyak luapan perasaan yang tidak bisa dibendung.

Menjelang hari keberangkatan pasangan, semakin banyak teman dekat yang meluapkan simpati dan empati mereka kepada kami, khususnya kepada saya. Kesimpulannya hanya ada satu, “Kasihan kamu mau ditinggal LDR.”

Tanpa saya sadari, kalimat ini beresonansi dalam diri saya. Kamu kasihan. Kamu mau ditinggal LDR. Ketika akhirnya saya mengkomunikasikan ini kepada pasangan, maka akhirnya kami mendapati bahwa ternyata ada isu lain ketika kami (dan pasangan lain) mempersiapkan LDR, dan ini masalah yang serius.

Kebanyakan mempersiapkan pola komunikasi yang baru. Secara, salah satu pihak akan pergi ke tempat baru dengan segala rutinitas yang ada sementara pihak lainnya ditinggalkan. Masalah komunikasi jelas perlu dikerjakan dan diantisipasi bersama. Namun, ternyata masalah komunikasi hanya salah satu dari sekian PR yang harus dikerjakan bersama. PR lain yang jarang dialamatkan dalam persiapan LDR adalah masalah superioritas dan inferioritas. Dan hal ini malah sebaiknya dibereskan sebelum mengatur pola komunikasi yang baru.

Pihak yang meninggalkan, atau yang menjadi penyebab relasi harus dijalani jarak jauh bisa disebut sebagai “si superior”. Pilihan untuk LDR pada dasarnya terjadi karena dirinya (entah karena pekerjaan, studi lanjut, bisnis, dan sebagainya). Sedangkan pihak yang ditinggalkan, alias “si inferior”, hanya bisa menerima keputusan yang sudah diambil.

Sampai di sini, rasanya kedua label ini mulai bisa menggambarkan kondisi pasangan yang mau atau sedang LDR. Ada yang meninggalkan, dan ada yang ditinggal. Ada yang menjadi pelaku, ada yang menjadi korban. Akhirnya salah satu menjadi punya mental korban, yang satu lagi sering merasa bersalah.

Relasi superior-inferior ini, secara tidak disadari, dihidupi dalam para pasangan LDR, termasuk saya. Saya menjadi inferior karena saya merasa lebih lemah karena ditinggal. Saya menjadi lebih tidak mampu work out this relationship karena LDR. Saya merasa menjadi “korban LDR” karena memang pada kenyataannya saya yang ditinggal. Saya terus merasa sedih karena saya tidak mampu menjalani relasi tanpa kehadiran fisik pasangan saya. Saya yakin, tidak jarang pasangan di luar sana yang juga merasa demikian. Segala perasaan yang muncul akhirnya didefinisikan dalam satu kata: inferior. Lemah.

Sampai akhirnya di dalam pergumulan antara superior-inferior ini, pasangan saya berkata, “Kamu jangan ngerasa lemah karena aku jadi pelaku yang ninggalin kamu. Padahal aku juga berat banget tanpa kamu, aku pun di sana pasti susah ngadepin rutinitas yang baru tanpa kehadiran kamu. Jadi, jangan jadiin pola pikir ‘ditinggal’ itu sesuatu yang memvalidasi kelemahan kamu dan jadiin kamu makin punya mental korban. Kamu bukan korban yang aku tinggalin. Jadi, jangan ngerasa inferior dalam perjalanan LDR ini, ya.”

Setelah dipikir-pikir, benar juga. Perjalanan LDR bukan tentang siapa yang lebih kuat atau lebih lemah. Tidak ada si korban dan si pelaku, tidak ada yang superior atau inferior. LDR adalah tentang bagaimana kedua belah pihak sama-sama punya pertumbuhannya masing-masing, di tempatnya masing-masing.

Ketimbang tenggelam dalam perasaan ditinggal-meninggalkan, alangkah baiknya jika memulai LDR dengan berpikir soal pertumbuhan indah yang akan terjadi. Tiap pasangan punya konteks yang unik. Namun, jika memang keputusan untuk LDR itu harus diambil, ingatlah … tidak ada yang lebih superior atau inferior dalam relasi. Dua-duanya kuat, dan seharusnya saling menguatkan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here