Martha memandangi tulisan tangan tegak bersambung kukunya. Syair itu, karakter Mandarin beserta maknanya, tertulis rapi di sana.
任时光匆匆流去我只在乎你 Waktu berlalu cepat, aku hanya peduli kamu
心甘情愿感染你的气息 rela hidup selalu denganmu
人生几何能够得到知己 dalam hidup bisa bertemu orang yang paham aku
失去生命的力量也不可惜 kehilangan kekuatan hidup juga tidak sayang
所以我求求你别让我离开你 karena itu mohon jangan biarkan aku tinggalkan kamu
除了你,我不能感到一丝丝情意 selain kamu aku tidak mungkin ada perasaan
“Kapan lu sidang skripsi, Ta?” Pertanyaan Lanny mengaburkan fokus Martha pada secarik kertas itu.
Martha cepat-cepat mengusap air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia tersenyum tulus pada Lanny dan menjawab, “Besok pagi, Ku.”
“Kuku ndak lama-lama kalo gitu. Cepet istirahat, besok sukses, ya,” Lanny berdiri, memijat ringan bahu Martha sebelum beranjak meninggalkannya.
“Xie-xie, Ku,” balas Martha, sambil memandangi punggung kukunya yang menghilang di balik pintu utama rumah mereka.
Martha mendesah pelan. Ia bertekad menyelesaikan satu demi satu bebannya. Sidang dahulu, yang lain akan segera menyusul.
Ia menatap kembali pada tulisan tangan Lanny. Apakah ini hati John untuknya?
—
Senyumnya terulas jauh lebih lebar dibanding saat memasuki ruangan ini. Bu Rahayu, yang duduk di ujung ruangan, mengangguk puas padanya. Tak sempurna, tapi ia tahu sudah memberi yang terbaik. Diam-diam ia berharap dapat melihat senyum bangga di wajah papanya juga.
Martha menunduk berterima kasih pada barisan dosen pengujinya dan bersiap meninggalkan ruangan. Melangkah tak sabar, ia akan merayakan hasil ini dengan Ivanka yang sudah menunggu di luar, kemudian menelepon mama dan kukunya.
Baru saja menutup pintu ruang sidang di belakangnya, Martha mematung. Hanya ada seorang yang berdiri di sana, dan orang itu bukan Ivanka.
Senyum itu, lagi-lagi membuatnya jantungnya berdisko.
Martha memeluk map berisi skripsinya lebih erat, berharap menutupi tangannya yang gemetar.
“Congrats, Babe!”
Tangan itu mengulurkan sekuntum mawar merah. Tanpa pemanis, tanpa pita, tanpa pembungkus. Hanya mawar merah yang begitu cantik, apa adanya.
Martha memandangi mawar itu lalu menatap wajah sang pemberi. Ia pikir sudah tahu bagaimana harus menjawab, tetapi semua rencananya buyar ketika yang bersangkutan hadir di hadapannya.
—
Bukannya menikmati makanan cepat saji di dalam restoran yang sejuk, John dan Martha memilih duduk di dalam mobil di parkiran. Mereka menikmati burger keju masing-masing, sesekali diselingi dengan kentang goreng yang duduk manis di atas dasbor.
“Udah lega?” tanya John.
Martha tersenyum dan mengangguk yakin.
Suara kertas pembungkus diremas mampir di telinga Martha. Gemeletuk es batu yang beradu dalam gelas kertas dan bunyi minuman yang diseruput mengikuti kemudian. Martha berhenti mengunyah, perlahan menarik napas dan mengembuskannya nyaris tanpa suara, tak ingin John menangkap gelisahnya.
Cepat-cepat ia menelan makanan di mulutnya dan meraih gelas minumannya sendiri. Tak perlu cenayang untuk memahami ada percakapan penting yang akan segera dimulai.
“Kuku lihat John anaknya baik. Dia bener sayang sama lu ….”
Martha tak ingin memperpanjang penderitaan, cepat-cepat ia menoleh pada John yang masih mengelap mulutnya. Ia harus mendahului John membuka pembicaaraan.
“John … erm … aku perlu tahu sesuatu.”
John menatap pada Martha, sedikit bingung, “Mau tahu apa? Shoot!”
Masih menatap John yang sekarang bersandar pada pintu mobil di belakangnya, Martha membungkus sisa burger keju yang ada di tangannya dan meletakkannya di atas dasbor.
“Waktu itu, kamu bilang ada kesalahan yang … erm … serius. Maksudmu apa? Kamu deket sama cewek lain?”
Sudah. Martha sudah mengutarakan ganjalan di hatinya. Jika memang John bukan jodohnya, ia sudah siap mengambil keputusan.
“Kuku enggak pengen hidup lu seperti hidup Kuku. Salah pilih harganya mahal.”
Pasti menyakitkan bila harus kehilangan John, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga bagi mama, kuku, dan bahkan kokonya yang sudah menaruh harapan tinggi pada John. Namun, Martha sudah siap menerima sayatan sekarang ini, daripada menanggung luka dalam seumur hidup.
John masih terdiam, memandangi Martha dengan tatapan intens tanpa ekspresi yang jelas. Dalam hatinya, Martha masih menyimpan sejumput harapan, semoga pemahamannya akan lirik lagu itu tidaklah salah. Tetapi ia seperti berdiri di persimpangan, tidak yakin arah mana yang digariskan untuknya; petunjuk yang ambigu membuat perasaannya makin gamang.
“Kamu tahu aku ada cewek lain?”
Bagus banget ceritanyaa 🤩 lucu, seru, ada rahasia-rahasianya. Menghibur sekali 🥰