“Kita pergi!”
Lingga menatap Ah Lung heran. Tak biasanya Ah Lung masuk ke dalam kamar lalu bicara tanpa penjelasan seperti ini. Ia menepuk-nepuk Ming yang sudah lelap di ujung tempat tidur, memastikan putranya tak terjaga. Ming tak perlu mendengar pembicaraan serius ini.
“Kenapa, Lung?”
“Percuma gua di sini, Ling. Papa malah ga peduli, dipikir toko dan rumah sudah ada yang urus. Kita pergi, bawa Mama dan Lanny sekalian. Gua sanggup buka toko di tempat lain. Kita mulai baru.”
Lingga melihat suaminya yang gusar. Ia menarik tangan Ah Lung, mengajaknya duduk di kursi yang ada di hadapannya.
“Perut gede gini, lu mau nekat ajak pergi?”
Ah Lung tersenyum, membelai perut Lingga yang sudah besar.
“Apa ga ada cara lain supaya Papa mau pulang?” tanya Lingga hati-hati. Ia tahu suaminya tak akan bertindak gegabah. Selalu ada pilihan bahkan di situasi tersulit. Ah Lung sudah sering membuktikannya di toko.
Ah Lung masih menatap pada perut Lingga. Ia diam, tetapi Lingga yakin pikirannya tidaklah kosong.
“Ada,” jawab Ah Lung dengan intonasi yang tak setegang sebelumnya.
Lingga tersenyum, menunggu Ah Lung melanjutkan kalimatnya.
“Kita pindah ke toko. Lebih deket ke sekolah Ming, ‘kan? Lu juga bisa fokus urus bayi, Ling.”
“Terus?”
“Gua jemput Papa. Kalo kita ga ada di sini, mungkin Papa lebih mau balik. Ga mungkin tinggalin Mama dan Lanny cuman berdua di sini.”
—
Lingga terdiam mengingat kejadian itu. Dia tahu firasat Ah Lung jarang salah. Taktiknya hampir selalu tepat dan tidak meleset.
“Yeye mau ikut Papa pulang, lihat kamu lahir, dan balik ke sini sama Nainai dan Kuku,” terang Lingga pada Martha.
Potongan-potongan puzzle terangkai apik di benak Martha.
“Tata … gak tahu … kejadiannya … kayak gitu,” sesalnya.
Untuk sesaat, ketiga perempuan itu terdiam, masih sibuk dengan pikiran masing-masing. Lanny terus mengusap mata dan hidungnya. Lingga duduk tenang dan menatap ke arah dinding. Martha meremas tangannya sendiri.
“Ta,” panggil Lingga lembut, “sekarang kamu udah dengar. Mama harap kamu ngerti kenapa Papa, Mama, Kuku berusaha untuk ga buka cerita ini.”
Martha mengangguk, matanya mulai buram. Rasa rindu pada papanya membuncah.
Papanya yang tak banyak bicara, tapi selalu memikirkan orang-orang di sekitarnya. Martha yakin papanya sudah memperhitungkan segala sesuatu, untuk mama dan adiknya, untuk istri dan anak-anaknya, bahkan untuk menantu dan bakal cucunya.
Mata Martha terpejam, wajah papanya muncul dalam benaknya. Ah Lung seperti elang yang melatih dan memastikan anak-anaknya menjadi penerbang unggul, menguasai angkasa seperti dirinya. Ia tak ragu mengepakkan sayap dan menjelajah langit sendiri, tetapi selalu pulang pada pasangannya.
Pikiran Martha melayang pada rumah biru. Martha tahu papanya bisa saja memutus hubungan dengan mereka ketika Yeye meninggal. Tapi beliau justru memilih sebaliknya, masa depan Bayu dan Ida dipikirkan dengan saksama.
“Kita ga bisa hapus dosa masa lalu. Tapi kita bisa buat sesuatu buat masa depan.”
Martha melihat Lingga menepuk-nepuk bahu Lanny. Mamanya yang selalu diam dan seperti tak punya pendapat, ternyata seorang pahlawan yang luar biasa. Beliau memang tak mahir menghunus pedang dan menghalau musuh, tetapi kelembutan hatinya ternyata berdampak besar.
“Ma,” Martha memberanikan diri untuk menghampiri Lingga dan bersimpuh, “Tata salah.” Air matanya membasahi daster batik yang dikenakan mamanya. “Duibuqi, Ma. Tata sudah … kurang ajar … sama Mama.”
Tangan Lingga membelai kepala putrinya.
“Sudah. Mama nggak marah.”
Martha merebahkan kepalanya di pangkuan Lingga. Betapa bodohnya ia, tak menghargai kehadiran dan dukungan mamanya selama ini. Sekarang ia hanya punya seorang Mama, satu-satunya orang tua yang masih bisa mendampinginya di dunia ini.
Kedua tangan Lingga menangkup wajah Martha, mengarahkannya untuk terangkat agar tatapan mereka bertaut.
“Kamu … persis papamu. Atos (keras kepala),” ujar Lingga. Senyum terulas di wajahnya.
Martha menghapus sisa air mata dan tak kuasa menahan tawa kecil. Lingga menepuk pipinya.
Dari tempatnya, Martha kini menatap kukunya. Pandangannya terhadap Lanny tak akan lagi sama seperti sebelumnya. Ia tak pernah menyangka Lanny menghadapi badai yang begitu besar dalam hidupnya. Dengan semua luka itu, ia masih bisa berdiri dan melanjutkan hidup.
Dulu ia sebal dengan kukunya. Sekarang, ia berharap punya secuil keberanian dan ketangguhan yang kukunya miliki.
“Sini, duduk,” ajak kukunya sambil menepuk tempat di antara dirinya dan Lingga.