Tak ada kata-kata yang terucap dari mulutnya. Ia menanti dalam diam, hingga secangkir teh hangat disajikan di hadapannya.
“Minum dulu biar perutmu hangat. Kamu tadi dari rumah belum sarapan, ‘kan?”
Martha mengangguk, “Xie-xie, Ku.”
Ia meraih cangkir itu, kehangatannya langsung terasa hingga ke hatinya. Kali ini ia tak mungkin tidak merasakan perhatian kukunya. Matanya sudah tercelik. Mungkin ada ratusan hingga ribuan kebaikan Lanny yang tak ia anggap, yang ia sepelekan, bahkan yang ia abaikan.
Lanny duduk di hadapan Martha. Daster bunga-bunga merah yang dikenakannya kontras dengan suaranya yang menenangkan. Sangat berbeda dengan Lanny yang biasanya.
Martha menaruh cangkir di atas meja. Ia mengusapkan tangan ke celana panjang yang dikenakannya.
“Ku … em, Tata … em … duibuqi (maaf), Ku,” Martha tergagap.
Lanny tak menjawab. Namun, pandangan matanya juga tak memancarkan kemarahan atau kejengkelan. Martha tak tahu apa yang ada di pikiran dan hati kukunya saat ini.
“Tata … harusnya … gak ngomong … kayak gitu … sama Kuku. Duibuqi, Ku.”
Lanny masih tak menjawab. Martha hanya menatap tangannya yang sekarang meremas kain celana yang dikenakannya. Beberapa detik kemudian, Martha mendengar isakan lembut. Ia menengadah dan menemukan kukunya sibuk mengusap air mata yang berjatuhan.
Lidahnya jadi kelu. Pikirannya buntu. Ia sungguh tak tahu harus berkata apa dan harus berbuat apa.
“Lu berhak tahu. Tapi, mungkin waktu e belum pas. Kuku …,” kalimat Lanny terhenti oleh isakan yang makin keras, “Kuku harus e … cerita.”
“Koko sudah cerita, Ku. Tata yang salah. Harusnya Tata ga paksa Kuku dan Mama. Tata mestinya tahu diri.”
Lanny menggeleng.
“Sudah waktunya lu tahu.”
Martha mendengar kisah yang ingin ia ketahui, dari sudut pandang Lanny. Yeye yang sering tak ada di rumah ketika Nainai sakit keras. Lanny yang harus merawat mamanya, sembari harus mengaburkan alasan sebenarnya dari ketidakhadiran papanya di rumah.
“Waktu itu papa dan mama lu masih tinggal di sini,” mata Lanny menjelajah ruangan tempat mereka berada, bernostalgia. “Waktu itu Ming masih kecil.”
Martha sontak menggeser pantatnya, mendekat ke arah Lanny.
“Papa sama Mama pernah tinggal di sini, Ku?”
Lanny mengangguk. “Untung waktu itu ada mama lu. Jadi, ada yang bantu jaga Nainai. Kuku ndak bisa bayangin, Mama lu harus ngeramut Ming, tapi juga urusin Nainai.”
“Tapi, ‘kan ada Kuku yang rawat Nainai?”
Lanny menghela napas. Pandangannya menerawang ke arah jendela rumah.
“Ga usah cerita, Lan. Tata perlu belajar ada hal-hal yang dia gak harus tahu. Itu hidup lu, Lan. Lu berhak simpan,” suara Lingga memecah kesunyian di antara mereka.
Martha hanya mengangguk, menurut pada mamanya yang tiba-tiba muncul di ruangan itu.
Lanny berdeham, “Gak apa, Sao. Tata perlu tahu, biar dia belajar gak bikin kesalahan yang sama.”
Lingga duduk di samping Lanny, dan menepuk bahu iparnya lembut.
Lanny berkisah lagi, “Awal-awal sakit, Nainai minta Kuku cepet kawin. Dua keluarga setuju. Setelah kawin, Kuku sempat tinggal di rumah mertua.”
Kedua tangan Martha saling bertaut, saling meremas. Dia tak pernah tahu kukunya pernah menikah. Bahkan, saking jengkelnya, Martha pernah berpikir kukunya pantas jadi perawan tua karena sifatnya yang menyebalkan.
“Habis itu, ada kejadian Yeye. Kondisi Nainai turun terus. Untung ada mama lu,” Lanny menepuk paha Lingga perlahan. “Mama lu ga pernah sambat (mengeluh).”
Martha melihat raut wajah Lingga tak berubah. Mamanya menatap Lanny dengan ketulusan.
“Makin lama, Yeye makin jarang pulang, Nainai makin payah,” tutur Lanny, sembari mengusap air mata, “Mau ga mau, Kuku juga sering pulang, bantu jaga Nainai.”
“Suami Kuku keberatan?” tebak Martha dengan berhati-hati.
Lanny menggeleng, “Awalnya enggak. Waktu itu Nainai sudah wanti-wanti untuk ga cerita soal Yeye ke … orang itu. Tapi, Kuku akhirnya cerita.” Air mata Lanny makin deras. Tangis sesenggukannya menggema.
Lingga menyodorkan tisu. Lanny menerimanya, mengusap air mata, sembari sesekali menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. Ia tak menyangka, setelah puluhan tahun memori itu masih tetap menyakitkan baginya.
—
Tubuhnya sungguh lelah. Beberapa malam ia tak bisa tidur, kondisi mamanya yang naik-turun menuntutnya untuk tetap terjaga. Ia hanya ingin mandi air hangat dan beristirahat. Dan kalau ia beruntung, mungkin suaminya akan memberinya pelukan yang akan mengantarnya tidur.
Ia membuka pintu kamar, berharap menemukan lelaki yang beberapa tahun terakhir ini menjadi sandarannya. Tetapi, ia malah menemukan sosok lain, mengenakan daster yang sangat mirip dengan miliknya.