“Bangun!”
Selimut Martha disibak dengan keras dan sebuah tangan menggoncang tubuhnya. Martha masih berusaha meraih selimutnya kembali.
“BA-NGUN! Habis bikin ribut, enak-enak tidur!”
Suara Ming terdengar serius. Dan ada percikan kemarahan di dalamnya. Martha memeluk gulingnya lebih erat, sengaja membalikkan badan memunggungi kokonya.
“MARTHA, BANGUN!”
Kali ini Ming menarik lengannya, tidak membiarkan Martha menghindar.
“Apa seh, Ko?” Martha sontak duduk dan membentak Ming balik.
“Kamu ya, bikin gara-gara!” dengus Ming jengkel.
“Koko ini yang pulang-pulang bikin gara-gara. Ga isa apa biarin orang istirahat?” Martha memukulkan guling yang dipegangnya ke arah Ming. Tak butuh lama untuk Ming merampas guling itu dan membuangnya ke lantai.
“Mama mana?”
Martha mengedikkan bahunya, “Ndek kamar e bee (Di kamarnya mungkin)?”
“Liaten ta (Lihat)! Mama pergi kamu sampe ga tahu!”
“Ya paling pergi arisan atau pergi mbek Kuku. Mosok aku ngurusin Mama 24 jam?”
“Nggapleki!”
“Heh, Koko ga usah kasar! Sembarangan misuhin orang!” Martha sudah tidak merasakan kantuk lagi. Matanya sudah terbuka lebar, dadanya bergemuruh karena amarah.
“Kamu kebacut (sangat kelewatan), Ta! Lihat sekarang jam berapa? Jam 10 malam, Ta! Mama pernah keluar rumah lewat jam 9? Gak pernah! Apalagi sejak Papa ga ada, pernah kamu lihat Mama pergi malam hari? Mentok jam 7, Mama sudah masuk kamar!”
Rasa panas di dadanya mendadak berlipat ganda, membuatnya sesak. Kali ini amarahnya dengan kilat digantikan oleh ketakutan.
“Kamu ngomong apa tadi? Bilang apa kamu ke Mama?”
Suara Ming yang makin keras membuat Martha menegang. Ia sungguh tak berani bergerak, bahkan untuk menarik napas lebih dalam saja Martha tak sanggup.
“K-koko tahu … d-dari mana?” Martha tergagap.
“Buat apa tanya? Supaya bisa sembarangan nyalahin orang, nuduh orang, fitnah orang?”
“A-aku–“
“Aku apa? Aku ga mau tahu orang lain?”
Martha tak tahu apa yang lebih menakutkan, suara Ming yang menggelegar atau matanya yang menusuk tajam. Mendadak ia melihat kokonya lebih tinggi dan lebih besar dari biasanya, mengintimidasi dan menghakiminya tanpa ragu.
“Ga habis pikir Koko sama kamu. Bukannya beresin skripsi, malah bikin masalah! Dikasih kesempatan malah ngelunjak. Maumu apa seh?”
Martha makin ciut, air mata sudah tak tertahan.
Pintu kamar Martha dibuka dengan tergopoh, Santi dengan kepayahan berusaha berjalan agak cepat dan menarik lengan suaminya.
“Ko, udah, jangan marah gini lah,” ujarnya lembut sambil mengusap lengan Ming.
Ming menggeram, membalikkan badan tak ingin menatap Martha yang masih terduduk di atas tempat tidurnya.
“Kita omongin baik-baik ya,” bujuk Santi sambil tetap menenangkan Ming. “Ayo, kita duduk di luar aja,” Santi setengah menarik Ming, lalu ia berbalik kepada Martha, “Ta, kamu cuci muka sebentar, Koko dan Saosao tunggu di luar ya.”
Begitu Santi menggiring Ming keluar, bahu Martha melorot dan air matanya mengalir makin deras. Seumur hidup, Ming tak pernah memarahi dirinya. Ya, memang Ming sering mengomeli dirinya, tapi bukan marah, dan bukan marah besar seperti barusan.
Jantungnya masih berdetak tak karuan. Petir masih sambar-menyambar dalam hatinya. Dengan muka yang basah, Martha beranjak menuju kamar mandi, menuruti saran Santi. Air dingin sudah membasuh sisa air mata di wajahnya, tetapi kepalanya masih terasa panas.
Martha menatap pada bayangan dirinya di cermin. Kedua tangannya mencengkeram sisi wastafel. Ada marah yang tersirat di matanya, marah pada dirinya sendiri. Entah apa yang sudah ia lakukan sampai pantas mendapat amukan kokonya. Ia tahu ada yang tidak benar, tetapi ia tidak tahu apa.
Ia menghela napas panjang, lalu mengangkat telunjuk kanannya, menudingkannya pada bayangan di cermin.
Ketika ia keluar dari kamar, Ming dan Santi sudah menanti di sofa ruang keluarga. Secangkir air duduk di atas meja tepat di hadapan Ming. Santi menepuk lutut Ming dengan lembut.
Pandangan Ming terangkat, memandang Martha. “Duduk!”
Martha lekas melangkah dan duduk di hadapan koko dan saosaonya.
“Cerita! Tadi kenapa?”