“Setelah aku ambil data, interaksi dengan informan, aku belajar untuk memahami ada alasan, ada sesuatu di balik tindakan orang. Kamu bisa jadi super jutek, karena …,” Tasia mengetukkan telunjuk ke pipinya sendiri, “mungkin karena you had a bad day.”

Martha mengangguk kecil menanggapi penjelasan Tasia.

“Jadi, kamu aslinya bukan orang yang mbencekno, tapi situasi saat itu membuat kamu bereaksi begitu.”

“Skripsi mengubah seorang Tasia; bukan cuma kamu bisa ikut yudisium bulan depan, kamu juga jadi bijak ya, Sia.” Martha menyahuti tulus, tapi tetap berbumbu seringai di wajahnya.

Tasia terbahak, tapi segera mengecilkan volume suaranya, ingat bahwa mereka masih ada di ruang dosen.

“Aku belajar banyak dari informan-informanku, Ta. Kalau kita asal menghakimi tanpa berusaha memahami mereka, kita ini jadi orang cupet, orang egois yang merasa diri paling benar. Amit-amit, jangan sampe kita jadi orang begitu ya!”

Martha menepuk lengan Tasia, ikut merasa bangga dan senang melihat pencapaian sahabatnya.

“Martha!” Suara di ujung ruangan memanggil namanya.

“Dah, Sia, giliranku,” pamitnya sembari membereskan bawaannya, bersiap menemui Bu Rahayu.

“Semangat, Garis Lurus!”

Senyum tulus di balik meja menyambut Martha yang masih setengah gugup.

“Sudah siap lanjut, Ta?”

Martha mengangguk yakin dan segera mencatat berbagai arahan dan instruksi dari Bu Rahayu. Ia juga harus berusaha keras menyelesaikan studinya.

“Urusan yang kemarin sudah beres, ‘kan?”

Pertanyaan itu menusuk Martha. Matanya hanya menatap kosong pada lembaran di hadapannya, tangannya memegang pena, tetapi tak menggoreskan apa-apa pada kertas itu.

“Kamu masih butuh waktu?”

“E-enggak, Bu!” Cepat-cepat Martha menjawab. Ia tak ingin Bu Rahayu salah sangka. “Urusan yang waktu itu sudah beres.”

“Tapi ….”

“Tapi … saya merasa belum tuntas.”

Tak perlu ditanya lebih lanjut, semua kecurigaan dan asumsi yang ada di kepala Martha mengalir deras lewat mulutnya. Mungkin saja, Bu Rahayu bisa memberinya solusi, menolongnya menemukan jalan di tengah labirin yang menjebaknya.

“Martha, saya selalu kagum dengan determinasimu. Tapi, ingat pesan saya kala itu? Hidup tidak bisa selalu dihadapi dengan kacamata garis lurusmu.”

Tiba-tiba Martha merasakan dorongan untuk mengusap puncak hidungnya, walaupun tak ada apapun yang bertengger di sana.

“Yang kamu lihat mungkin hanya puncak dari gunung es, tapi ada banyak hal yang tidak dimunculkan di bawah permukaan air. Kamu hanya melihat fenomenanya; hal itu tidak mewakili seluruh kenyataan yang ada.”

Bu Rahayu memandang Martha lekat, lalu menganggukkan kepala beberapa kali. Seperti mendorong Martha untuk berpikir kembali dan, tentu saja, untuk melakukan sesuatu … yang tepat.

Seakan penderitaannya belum cukup, pulang dari kampus Martha disambut oleh Kuku Lanny yang duduk manis dan asyik ngobrol dengan mamanya di meja makan. Martha mendengus, ia sungguh tak punya energi untuk menghadapi kukunya saat ini.

Usaha Martha untuk masuk kamar dengan diam-diam ternyata gagal. Suara cempreng kukunya memenuhi rumah mereka.

“Eh, wes pulang lu, Ta? Ini Kuku bawain petulo. Makan sek (dulu) sini.”

“Nanti ae, Ku. Tata mau istirahat.”

Martha cepat-cepat membalik badan dan segera menggapai pintu kamar tidurnya.

“Justru karena capek, sini makan sek (dulu). Ndek sana lu makan teratur ndak (Apa di sana kamu makan teratur)? Cocok ndak? Kok kayak e lu kurusan gitu (Kok sepertinya kamu lebih kurus)?”

Sabar, Ta, sabar. Martha mengembuskan napas cepat, lalu berbalik menuju meja makan.

“Ku, kenapa sih ngomong gitu tentang mereka?”

Martha masih berdiri di ujung meja, menatap pada Lanny yang tertegun mendengar pertanyaannya.

“Loh, Kuku bilang apa memang e? Kamu betul kurusan tho?”

“Tapi bukan berarti karena Tata ga dikasih makan di sana tho, Ku? Asal Kuku tahu, di sana Tata disambut baik. Dan di sana Tata dengar lebih banyak cerita. Di sini semua diam, semua main sembunyiin kenyataan,” cecar Martha ketus, sambil menatap tajam pada kuku dan mamanya.

“Tata …,” Lingga memanggil putrinya lembut sembari memegang tangannya.

“Mama ga usah bela Kuku. Mama juga ga pernah bilang apa-apa soal Mas Bayu dan Ibu. Kenapa Mama dan Kuku ga mau ngomong? Apa jangan-jangan Mama dan Kuku yang ngompori Papa supaya ga mengakui mereka?”

“Tata! Wes ya (Udah ya)! Kalo kamu nggak ngerti ceritanya, ga usah banyak ngomong. Nanti kamu nyesel!” sergah Lanny yang sudah berdiri di hadapan Martha. Sekalipun tinggi badan Lanny tak sebanding dengan Martha, ia berdiri tegak tanpa gentar di hadapan keponakannya.

“Lan, wes, Lan. Ga usah diperpanjang,” Lingga menarik tangan Lanny, berusaha mendinginkan suasana.

Biarno, Ma. Hal ini harus diselesaikan. Selama ini Mama dan Kuku udah ga adil terhadap Mas Bayu dan Ibu. Mungkin …,” Martha menatap Lingga, “kalo Mama cukup tegas, Mama ga akan biarno Kuku pengaruhi Papa untuk menelantarkan mereka.”

“Ta, cukup ya! Justru kalo bukan karena mamamu, mungkin Bayu dan Ida udah dihapus dari silsilah keluarga kita!” Muka Lanny memerah, terbakar amarah.

Martha sendiri tak ingin mundur, semua hal ini sudah sangat menyesakkan. Ia tak takut melihat kukunya mendelik menatapnya.

Wes, Lan. Biarno, Lan,” Lingga masih mencoba menengahi.

“Gak isa, Sao. Tata wes kelewatan,” sahut Lanny, yang kemudian menatap Martha kembali, “Kamu nggak pantes ngomong gitu tentang mamamu. Apa Ida bilang begitu? Ida yang bikin kamu kurang ajar gini? Atau Bayu?”

Tak mau lagi menggunakan kata, Martha membalas dengan menyalangkan matanya, masih bersikukuh membangkang.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here