“Hidup bahagia selamanya itu hanya ada dalam dongeng,” begitu kata mereka yang lebih dahulu menikah. Mungkin mereka benar, pikir saya ketika masih single. Namun, memasuki tahun keempat pernikahan, saya rasa hidup bahagia selamanya bukanlah sekedar dongeng, melainkan sebuah mimpi yang mungkin sekali untuk diwujudkan.

Saya tidak mengesampingkan realita pernikahan yang mengandung banyak konflik dan persoalan kompleks. Justru kebahagiaan tidak dapat diraih tanpa adanya tantangan dalam relasi. Hidup bahagia selamanya bukan berarti tenang tanpa gejolak.

Sudah lebih dari 3 tahun kami menikah dan menikmati segala kelimpahan dalam pernikahan tetapi belum juga dikaruniai anak. Tidak sekali dua kali kenyataan ini menekan kami berdua, sehingga air mata pun mengalir. Tidak sedikit juga waktu yang kami habiskan untuk berdoa, memohon Yang Maha Kuasa mengaruniakan anak. Tidak murah juga biaya yang kami keluarkan untuk menggemukkan kantong-kantong para dokter spesialis.

“Kamu pasti menderita,” ucap seseorang dengan nada simpati kepada saya, setelah mendengarkan penantian kami akan seorang anak. Sebenarnya tidak. Punya anak adalah rencana kami berdua, tetapi tidak pernah menjadi tujuan pernikahan. Dengan atau tanpa anak, tujuan pernikahan kami tidak bergantung pada standar-standar dunia ini tentang apa saja yang harus dimiliki oleh suami istri.

“Jadi, apa relationship goal kita?” tanya saya pada suami suatu malam. Suami memandang saya dengan pandangan bingung. Seakan-akan mau protes, “Masa kamu harus menanyakannya? Bukankah sudah jelas?” Namun, saya ingin konfirmasi ulang.

Suami saya bukan seorang yang ahli merangkai kata. Jawabannya pendek, sederhana, seperti diambil dari buku dongeng. “Kita saling menyayangi selamanya.” Terkesan dangkal dan kekanakan bagi sebagian besar orang. Namun, hati saya berbunga-bunga mendengarnya, meskipun bukan pertama kali suami mengucapkannya. Saya merasa bahagia dan yakin bahwa kami akan bahagia selamanya.

Hidup bahagia selamanya bukan imajinasi atau ilusi saya belaka. Inilah yang sedang dan harus terus kita wujudkan bersama. Jika ingin menikah dan hidup bahagia selamanya, maka perhatikanlah tiga hal ini:

1. Pastikan Pribadi yang hidup selamanya hadir di tengah-tengah pernikahan kita

Tidak ada pribadi yang lebih kekal selain daripada Tuhan. Hanya Sang Pencipta kehidupan yang sanggup memberikan kehidupan yang berbahagia selamanya. Tuhan memang tidak pernah berjanji langit selalu biru. Namun, jika kita memberikan ruang kepada-Nya untuk berkuasa dan memegang kendali atas segala sesuatu dalam kehidupan kita, maka tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Bukankah bahagia itu bebas dari rasa khawatir?

Penulis bersama suami

Saya bersyukur kami pun bebas dari rasa khawatir akan kemungkinan tidak bisa punya anak. Punya anak hanyalah bagian dari relationship plans, bukan relationship goal.

2. Pastikan kita berjalan sesuai rancangan Sang Pencipta dalam pernikahan

Bukankah Sang Pencipta sudah menentukan agar setiap suami mengepalai rumah tangganya dan setiap istri menjadi penolong yang sepadan? Relationship goal hanya bisa tercapai jika kita menjalankan peran masing-masing dengan tepat.

Suami harus mencintai istrinya seperti dirinya sendiri. Selama suami setia melakukan kewajibannya, istri akan merasa dicintai. Demikian pula sebaliknya. Sebagai istri, saya hanya perlu percaya pada pimpinan suami, menghormatinya, dan tunduk pada keputusan-keputusannya sebagai kepala rumah tangga.

Memang lebih mudah diucapkan dan dituliskan daripada dilakukan. Saya pikir kami perlu terus ke dokter dan menjalani treatment agar bisa lekas punya anak. Namun, suami menolak. Bukan karena dia sudah menyerah atau kapok “menafkahi” para dokter spesialis, melainkan karena dia menyayangi saya seperti dirinya sendiri. Sama seperti dia tidak ingin tertekan, demikian pula dia tidak ingin saya tertekan karena hal ini. Pasangan suami istri yang tertekan bukan calon orang tua yang baik bagi seorang bayi, bukan?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here