Martha meremang. Ada rasa dingin yang menjalari punggung hingga tengkuknya. Perutnya mulas.

“Ke-kenapa minta maaf?”

Dengan tangannya yang bebas, John menyugar rambutnya, mengalihkan pandang dari Martha. Tangannya yang masih menggenggam tangan Martha berkeringat.

“Waktu kamu pergi … I did something wrong. Awfully wrong,” ujar John sambil memandangi ikatan tangan mereka.

Pikiran Martha berkabut. Kecurigaan dan dugaan seperti bermain trampolin di otaknya.

Dia ketemu cewek lain? Is this the end?

Pandangan mata John terangkat, kembali menemukan Martha yang masih diselimuti kegelisahan. Ia menatap Martha, seperti menantikan kata-kata keluar dari mulutnya.

“K-kamu …,” Martha memalingkan wajah, berusaha menemukan kata-kata di sudut-sudut mobil yang dijelajahi pandangnya. Ia berdeham sejenak. “Jadi … ini jawabanmu?” tanya Martha, ingin memastikan pemahamannya.

“Jawaban apa?” John mengernyit.

“Yang … sebelum aku … pergi?”

“Oh, itu …,” sahut John dengan senyum lebar. “Kalau yang itu, jawabannya ini.” Sedetik kemudian John menekan beberapa tombol di stereo set, dan Martha mendengar alunan lagu yang tak asing baginya.

Ini salah satu lagu kesukaan papanya. Ketika ia masih kecil, di sore hari ketika toko sudah tutup Ah Lung sering mengajaknya duduk bersama di ruang tengah, menikmati lagu ini. Martha selalu mengingat lagu ini sebagai lagu patah hati. Entah mengapa, dia punya kesan lagu ini bersumber dari seorang yang merana karena kekasih hatinya menikah dengan orang lain.

Suara Teresa Teng yang mendayu-dayu dan melodi di ujung refrein yang menyerupai akhir dari Wedding March, tetapi dibungkus nuansa sendu, membuat lagu ini seperti sebuah ratapan. Ya, ia juga ingat ketika masih kecil dan diajak menghadiri resepsi pernikahan, lagu ini sering dinyanyikan oleh homeband restoran.

Ia membayangkan ada bel gereja yang dibunyikan bersamaan dengan Wedding March yang menggema menandakan perayaan cinta kedua mempelai. Namun, di luar gereja ada seorang yang menatap dengan nanar pada sang mempelai, kekasih yang tidak akan menjadi miliknya.

Hal itu membuat Martha tak habis heran, dalam resepsi yang seharusnya bahagia ada seorang yang diizinkan untuk menangisi hatinya yang hancur luluh.

Sekarang ini, John memutar lagu ini sambil memegang tangannya. Apa artinya? Apakah ada perempuan lain yang sedang menanti John di luar sana? Ataukah ia akan menjadi pihak yang ditinggalkan sementara John mengikat janji dengan orang lain diiringi Wedding March?

Jangan nangis dulu, tanya. Suruh dia jelasin.

Martha menggigiti bibir bawahnya, satu tangannya meremas ujung kaus yang ia kenakan, mengumpulkan kekuatan yang ia butuhkan.

“John, m-maksudmu apa? Aku … aku nggak paham.”

John tersenyum. Martha makin bingung. Ia mencoba mencari makna terselubung di balik senyuman itu, tapi ia tahu persis apa maknanya. Itu senyum yang berhasil meluluhkan hatinya. Senyum yang ia rindukan selama hampir satu bulan ini.

Tautan tangan mereka terlepas. Jemari John berpindah mengusap bahu Martha perlahan.

“Kamu cari tahu dulu arti lagu ini deh. Kalau sudah paham, let me know. Ok?”

Kepala Martha masih pening, semalaman ia tidak nyenyak tidur. Kalau boleh, ia masih ingin melepas rindu dengan bantal dan gulingnya, sambil mencurahkan isi hati dan air mata kepada mereka. Sayangnya, ada tanggung jawab yang membuatnya harus beranjak.

Ia menguap lebar, tak lagi sungkan dengan beberapa mahasiswa lain yang duduk di samping kanan-kirinya. Martha bukan dilanda kebosanan karena menunggu giliran, ia sungguh sedang kelelahan. Lelah lahir dan batin.

“Heh, Anak Garis Lurus!”

Panggilan itu membangunkan Martha yang sempat beberapa detik memejamkan mata.

Wes balik, gak ngomong-ngomong!” Tasia cepat-cepat duduk di sebelah Martha lalu mencubit lengannya. Kebetulan seorang kakak tingkat yang tadinya duduk di sana baru mendapat panggilan giliran menemui dosen.

“Baru kemarin balik, Dul!” Martha menoyor pelipis Tasia ringan.

“Dal, Dul, Dal, Dul. Gundulmu a?” Tak terima Tasia menyikut rusuk Martha, yang kemudian dibalas dengan cengiran tanpa rasa bersalah.

“Lagi semringah nih? Dapet pacar baru apa udah selesai bab baru?”

Tasia membanting map tebal yang dibawanya ke pangkuan. “Ini namanya kerja keras. Demi yudisium bulan depan. Kudu optimis, biar segera menyandang gelar.”

“Mestinya kamu bisa, Sia. Tapi terdistraksi saking ga percaya diri.”

“Aku bukan tipe garis lurus kayak kamu, Ta. Butuh waktu lama buat aku yakin skripsiku bakal kelar. Tapi, aku ga nyesel. Gara-gara kerjain ini, aku belajar hal baru.”

“Hal baru apa?”

Tasia tersenyum, lalu berkata, “Kita itu … eh, aku sih. Aku itu sering banget menilai orang berdasarkan pandanganku tok (saja). Misal ya, kamu jutek kayak gini nih, aku gampang ae nilai kalo kamu yang ancen mbencekno (memang menyebalkan).”

Martha mengangkat satu alis, masih tak menangkap maksud Tasia sepenuhnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here