Langit mulai gelap, udara makin dingin. Sepiring pisang goreng sudah tersaji di hadapan mereka. Uap panas yang masih mengepul pas sekali menggambarkan hangatnya percakapan Martha dan Bayu sore itu. Sejak pulang dari air terjun, Martha dan Bayu sering bercengkrama akrab. Senyuman Ida selalu mengembang melihat pemandangan itu.
Martha baru saja membuka mulut untuk menyambut gorengan manis itu ketika dering ponselnya menyela.
“Tumben ada yang telepon, Ta? Angkat dulu sana, mungkin penting,” saran Bayu.
Martha bergegas masuk ke dalam kamar dan menemukan nama Lanny di layar ponselnya.
“Iya, Ku?”
“Ini Kuku lagi di jalan mau ke sana.”
“Hah? Sekarang, Ku? Kuku mau ke sini?” tanya Martha heran.
“Iya, sudah dekat. Ini ada Mama lu, Ming, sama Santi. Mau kuliner, ke tempat makan di depan hotel.”
Martha langsung paham sentra makanan yang lokasinya di depan sebuah hotel ternama yang dimaksud Lanny. Lokasinya tak jauh dari air terjun yang dikunjunginya bersama Bayu. Dalam hati, Martha tak yakin tujuan mereka hanya bertamasya sambil mengenyangkan perut.
“Lu mau dijemput atau langsung ketemu sana?”
“Kuku sekarang posisi di mana?”
“Ini baru lewat istana ayam goreng.”
Martha memperkirakan, masih ada kira-kira 20 menit sebelum mereka tiba.
“Ketemu sana ya, Ku.”
Ia segera menutup pintu kamar, mengganti celana pendek yang dikenakannya dengan celana panjang. Tiba-tiba, semua ide melintas di benaknya.
“Mas, ikut, yuk.”
“Mau ke mana, Ta? tanya Ibu yang sudah duduk di samping Bayu.
“Ke depan hotel, Bu. Ibu juga ikut, yuk.” Senyum lebar menghiasi wajahnya.
Bayu memandangi Martha dengan tatapan yang tak jelas apa maknanya. Martha menebak dia mendengar pembicaraannya dengan Lanny.
“Ibu agak capek, mau istirahat. Kamu ikut sana, Yu. Ayo, cepet ganti.”
Bayu bergeming.
“Yuk, Mas. Cepetan!” Martha setengah merengek. Ini jurus ampuh yang sering ia gunakan pada Ming.
Benar saja, Bayu berdiri dan masuk ke dalam kamar, menuruti permintaan Martha.
Martha susah payah menenangkan jantungnya yang berdetak tidak karuan. Bukan karena takut, ia justru sangat bersemangat. Semoga rencananya berhasil.
Bayu memarkirkan motornya dekat jalan masuk hotel. Melihat langkah Bayu yang penuh ragu, Martha langsung menarik pergelangan tangannya, setengah menyeret, sambil matanya menjelajah. Di depan hotel itu, di pinggir kanan-kiri jalan ada banyak warung-warung. Pujasera alam terbuka, beratap terpal dan berdinding spanduk.
Martha mencari fitur yang mudah dikenali; tubuh tinggi Ming atau rambut cokelat terang Lanny, biasanya dua hal itu menolongnya menemukan mereka dengan cepat. Alih-alih menemukan Ming atau Lanny, sepuluh meter dari tempatnya berdiri, ia melihat jaket abu-abu yang sangat ia kenali, beranjak keluar dari warung yang menjual ronde.
Seingat Martha, tadi Lanny tidak menyebut namanya sebagai bagian dari rombongan.
Ia mulai tenggelam dalam dilema. Haruskah ia lari mendekat? Atau berbalik menjauh? Rindu dan canggung sedang beradu dalam hatinya.
Terlambat. Sosok itu sudah menemukannya. Martha cepat-cepat melepaskan genggamannya dari tangan Bayu.
Senyum itu. Seharusnya ia merasa lega melihatnya, tetapi malah ragu dan tanya yang muncul.
Belum sempat mereka bicara, Lanny muncul.
“Lah ini.” Lanny tak melanjutkan kalimatnya, ia menatap Martha dan Bayu bergantian, lalu cepat-cepat masuk kembali ke dalam warung.
Martha menghela napas, lalu mengajak Bayu berjalan mendekat. Dia hanya mengangguk ketika melewati John yang berdiri di akses masuk warung itu.
“Ma, Ku, Ko, Sao.” Martha menyapa satu per satu anggota keluarga yang ia lihat di sana. “Aku ajak Mas Bayu.”
Bayu tersenyum canggung, menganggukkan kepala pada Lingga dan Lanny, tanpa ada kata yang terucap dari mulutnya.
Martha melihat ada kursi kosong di samping kokonya. Bermaksud mengajak Bayu duduk di sana. Belum sempat ia melangkah, Lingga menarik tangannya.
“Itu John mau pesen sate. Temeni gih.” Lingga menepuk tangan Martha. “Bayu biar ditemani Koko,” saran Lingga sambil menatap Bayu.
Tak bisa menolak, Martha hanya mengangguk.
“Eh, lu mau pesen apa, Ta? Angsle mau, ya?” Lanny menanyakan pesanannya dengan suara yang lebih pelan dari biasanya.
“Boleh, Ku.”
“Yuk,” ajak John kemudian.
Biasanya John akan langsung menggandeng tangannya, kali ini … tidak. Martha memilih mengekor di belakang John, ia terus menatap kakinya sendiri, gugup.
Seakan tahu fokus Martha tidak tertuju pada jalanan di depan, John merentangkan tangannya, menghalangi Martha agar tak terus melangkah. Lalu lintas di hadapan mereka cukup ramai, banyak mobil dan motor lalu lalang.
Segera setelah tukang parkir meniup peluit, memberi tanda aman, mereka segera menyeberang, menghampiri penjual sate yang belum begitu ramai. Martha memutuskan untuk berdiri di dekat meja yang disediakan, membiarkan John mendekat pada gerobak tempat daging-daging yang telah ditusuk berjajar.
“Duduk, yuk.” John menunjuk pada meja dan bangku kayu yang ada di hadapan Martha. Tak punya pilihan lain, Martha mengikutinya. Masih tak berani menatapnya, Martha hanya memandangi meja.
Ia mengusap lengannya, baru menyadari tak mengenakan jaket. Ia berharap gesekan antara telapak tangan dan lengannya akan memberi kehangatan dari udara yang makin menusuk.
“Ga bawa jaket?”
Martha bingung harus bagaimana menanggapinya. Setelah hampir 3 minggu berpisah dalam ketidakpastian, dia seperti kembali ke titik nol dengan John.
“Lupa.”
Ia menggosok hidungnya yang mulai gatal, masih tak berani memandang John.
Ada sesuatu yang berat mampir di bahunya, menutupi angin kencang yang tadi membuat lengannya dingin. Abu-abu, sesuram hatinya sekarang. Duh, dia rindu sekali aroma John yang sekarang menyelimuti tubuhnya. Ia memejamkan mata, menahan agar air matanya tidak turun.
Ia merasakan ada jari yang mampir di helai rambutnya.
“Aku kangen, Babe.”
—