Kamarnya sudah mulai terang. Martha terbangun dengan badan yang lebih ringan. Kerokan memang tidak ada lawannya. Atau kebenaran yang ia dengar kemarin malam yang membuat langkahnya meringan?
Martha memeriksa ponselnya. Seperti biasa, tak ada pesan masuk. Perlahan ia berdiri dan melangkah keluar.
“Pagi.”
Salam itu mengejutkan Martha. Untuk pertama kalinya, suara itu menyapanya tanpa embel-embel sindiran, tanpa nada ketidaksukaan. Wajah itu menatap Martha dari balik lembaran koran yang sedang dibacanya. Tak ada senyum, tapi juga tak ada laser tajam yang biasa ditujukan padanya.
“Pagi, Mas,” cicit Martha, masih tak percaya dengan yang dia lihat dan dengar.
Ini sudah pukul 9.30 pagi. Martha cukup heran melihat Bayu masih bersantai di rumah.
Sesuai yang ia amati, hidup Bayu itu sangat teratur, cenderung membosankan dan tak ada variasi. Martha tahu pasti setiap hari Bayu berangkat ke toko tepat jam 8 pagi, pulang untuk makan siang, lalu pergi, dan pulang ketika matahari sudah terbenam. Ia tak pernah pergi bersama teman, juga tak pernah ada yang berkunjung ke rumah.
Ia melirik pada kalender yang tergantung di dinding. Tanggal hari ini tercetak dengan tinta hitam. Tak ada keterangan libur hari raya. Lantas, mengapa Bayu masih duduk santai di kursi rotan itu? Tokonya tutup? Bukankah dia sendiri yang berkata toko tak akan buka sebelum ia tiba?
Ia memandangi Bayu dengan penuh curiga, sambil melangkah ke arah meja makan, meraih gelas, mengisinya dengan air, dan meminumnya habis.
“Pagi, Ta. Sudah enakan?” tanya Ida. Di tangannya ada piring berisi lauk sarapan. Sayuran segar, tempe goreng, dan bumbu pecel.
“Eh, pagi, Bu. Sudah baik kok. Terima kasih sudah dikerok.”
“Duduk, Ta. Makan dulu.”
Martha menarik kursi dan bersiap sarapan. “Ibu nggak makan?”
“Sudah. Tadi Ibu sama Mas Bayu sudah sarapan duluan.”
Martha mengangguk dan segera menikmati nasi pecel rumahan. Kesukaan papanya. Martha menebak, mungkin ini adalah menu kesukaan Bayu. Ida sering sekali menghidangkan sayur pecel dan Bayu tak pernah mengeluh jenuh.
Mereka berdua begitu serupa. Selain penampilan fisik, cara mereka bekerja, pola pikir, dan bahkan selera lidah pun mirip.
“Jadi ajak Martha pergi, Yu?” tanya Ida tiba-tiba.
“Terserah!”
Martha melirik ke arah Bayu, wajahnya ditutupi oleh lembaran koran lebar yang sedang dibacanya.
“Yu …, tadi malam katanya–“
“Iya, Bu,” potong Bayu cepat-cepat, ia menurunkan koran dan menatap Ibunya, “iya.”
Ida tersenyum puas. Martha kebingungan menyimak percakapan mereka.
“Habis makan, ganti baju yang nyaman, Ta. Mas Bayu,” Ida berkata dengan suara agak keras sambil melirik pada Bayu, “mau ajak kamu ke air terjun.”
Mulut Martha membentuk huruf O tanpa suara. Dari sudut matanya ia bisa melihat Bayu mendengus, tapi ada seulas senyum yang berusaha ia sembunyikan. Ada apa lagi ini?
Sepanjang jalan Martha sibuk menerka. Namun, semua menguap ketika suara air tercurah deras terdengar telinganya. Aroma lembab serupa petrikor memenuhi rongga dadanya. Deras, bising, tetapi menenangkan.
Bayu sudah mendahuluinya mendekat ke air terjun, berdiri tepat di belakang pagar pembatas kayu. Tak gentar menghadapi curahan air yang berjatuhan terus menerus, seakan tumpahan itu adalah sahabatnya.
Tiba-tiba ia berbalik, menatap Martha dengan senyum tertahan dan berjalan mendekat.
“Ayo,” ajaknya pada Martha.
Bayu turun dengan cekatan lalu mengulurkan tangan, menawarkan bantuan agar Martha dapat menapaki bebatuan dengan aman. Bukannya turun berbasah-basah mendekat ke air terjun. Bayu malah mengarahkan Martha menjauh, duduk di atas bebatuan besar yang permukaannya nyaman menjadi alas mereka beristirahat.
Mereka duduk dalam diam, menikmati hangatnya mentari dan sejuknya udara, memandangi air terjun yang tertumpah tanpa henti. Sekalipun jarak dari air terjun cukup jauh, sesekali percikan airnya ditiup angin dan menyapa ramah, membawa kesegaran bagi tubuh dan jiwa yang penat.
Titik-titik air yang mampir di wajah Martha seperti menghapus debu-debu kekhawatiran yang terakumulasi beberapa waktu ini. Kematian papanya, relasinya dengan John yang merenggang, deadline penyelesaian skripsi, dan … Bayu. Terlalu banyak hal tak terduga yang dia alami silih berganti.
“Enam tahun,” kata-kata Bayu mengagetkan Martha. “Aku masih enam tahun waktu Papa pergi.”
Martha memandangi Bayu yang menatap ke air terjun. Ada rambut-rambut halus yang tampak di garis dagunya, tegas tapi rapi.
“Sejak itu … nggak pernah kembali.” Tatapan Bayu sendu, merindu.
Martha tak tahu harus bagaimana merespons. Saat ini, Bayu seperti membuka jendela kecil untuk Martha mengintip ke dalam hatinya. Martha tak bisa tidak membayangkan Bayu kecil, menanti sendiri. Ada luka yang tak pernah ditunjukkan pada orang lain.
Beban di hatinya sudah ia tanggalkan, kebenaran sudah memberi sedikit kelegaan padanya. Namun, bagi Bayu, mungkin kenyataan itu selalu pahit.
Martha memutuskan untuk mengalihkan pandangannya dari Bayu, menatap lekat pada air terjun yang tak berhenti tercurah. Apa mungkin mereka perlu berdiam di bawah pancurannya, untuk melepaskan segala derita, seperti yang dilakukan oleh Sang Kakek dalam legenda?
Seandainya saja air terjun deras itu bisa membasuh semua masalah pelik ini. Martha sungguh tak keberatan jika arus deras sungai bersedia menghanyutkan kesulitan.
—
Sudah lama Bayu tidak mengunjungi tempat ini. Terakhir, ia datang bersama sekelompok teman SMA-nya, menjelang kelulusan. Di tempat ini, Bayu akhirnya mengambil sebuah keputusan yang mengubah hidupnya. Ini yang terakhir, pikirnya saat itu.
Ia tak sabar untuk segera hidup mandiri, tak perlu lagi bergantung pada Papa ataupun Kohde.
Ibunya selalu berusaha meyakinkannya bahwa Papa, dan Kohde, masih ingat padanya. Buktinya, mereka hidup berkecukupan tanpa harus bekerja keras. Ibunya memang sesekali menerima pesanan, tapi Bayu tahu uang hasil jualan itu tentu tak akan bisa memenuhi kebutuhan mereka setiap hari.
Ketika ia lulus SD, Ibu langsung membawanya mendaftar ke SMP terbaik di daerah itu. Di sanalah ia menyadari sesuatu. Ada sebuah kolom yang sengaja ditinggalkan tak terisi di formulir pendaftaran. Nama Ayah.