“Ga tahu, Ko.”

Sial! Jawaban seperti ini membuat Ming malah tak ingin beranjak. Selama ini dia selalu menerima jawaban mengarang indah yang berusaha memenangkan “golden ticket” melaju menjadi pacar Martha. Not this time.

Ada rasa iba yang mampir di hatinya.

Rasa itu membawanya kembali pada masa ketika ia terjebak dalam labirin gelap. Namun, seorang sahabat berjalan bersamanya, menariknya keluar dari kesesatannya sendiri. Pengalaman John mungkin tak sekelam masa mudanya dulu, paling tidak itu yang bisa ia simpulkan dari berbagai informasi yang ia terima.

Pemuda ini hanya butuh seorang yang bersedia menjadi rekan yang menunjukkan titik terang di ujung terowongan.

“Begini deh. Aku mau ajak kamu ketemu seseorang. Mungkin dia bisa bantu kamu nemuin jawaban yang kamu cari. Kamu sendiri yang bilang Martha ga akan bawa happiness buat kamu, ‘kan? Dan aku juga ga rela kamu jadikan Martha taruhan untuk menemukan happiness buat dirimu sendiri.”

“Boleh deh, Ko. Nothing to lose, ‘kan?”

Ming mengangguk, bersamaan dengan raibnya potongan kentang goreng terakhir.

“Tata udah kontak kamu, John?” tanya Ming, memecah keheningan di antara mereka.

“Koko kayak enggak tahu Tata aja. Biasanya juga aku yang kontak dia dulu kalo lagi ribut.”

Ming terkekeh, mengingat adiknya memang keras kepala dan tidak mau kalah.

“Jadi pertanyaan Koko yang salah ya? Kamu udah kontak Tata, John?”

John menjawab dengan gelengan kepala, senyum yang dipaksakan, dan sorot mata yang menyiratkan kebimbangan. Tangannya sibuk memainkan sedotan plastik yang bersarang di gelas minumannya.

“Baru kali ini aku ngerasain pahitnya gengsi.”

Ming terbahak mendengar jawaban John. Ia tak lagi heran dengan cara bicara John yang blakblakan dan apa adanya. Namun, sebagai sesama laki-laki, ia paham tak mudah mengakui kelemahan dan perasaan.

“Aku pernah bilang, tho, sama kamu, jangan makan gengsi, nasi masih enak,” timpal Ming.

Percakapan mereka disela oleh pelayan yang mengantarkan pesanan.

“Iya, nasi masih enak, apalagi nasi hainan,” jawab John terkekeh sambil memandangi piring yang sudah tersaji di hadapannya. “Makan, Ko.”

Sejenak nasi hainan merebut panggung utama, membuat kedua laki-laki itu menangguhkan pembicaraan.

“Jadi, ada apa dengan gengsimu?”

John berdeham. “Sebelum bahas itu, aku mau tanya, Ko. Bayu itu … bener?”

“Kalo maksudmu Bayu itu bener ada atau enggak, bener, dia ada. Tapi, kalo maksudmu cerita Tata soal Bayu itu bener atau enggak, kamu harus tanya ke Tata sendiri. Koko juga enggak tahu Tata cerita apa aja sama kamu.”

“Dia bener … related?”

“Yup.”

“Dan asumsi Martha soal dia … your half-brother?”

“Kamu tanya Tata sendiri aja nanti, waktu dia balik. Lebih baik dia yang cerita sama kamu.”

You know about this?”

Ming mengangguk. “Yes. But, no, aku gak akan kasih tahu kamu.”

As always, Koko baca pikiranku.”

“Gak, lah, mana bisa aku baca pikiran.” Ming mengeluarkan sedotan plastik dari gelas dan meneguk habis es teh manisnya.

“Beneran ini, Ko. Aku mana bisa ngobrol begini sama kokoku sendiri.”

Ming seperti sedang berhadapan dengan remaja yang bimbang dalam tubuh seorang pria dewasa di hadapannya. Dia bisa merasakan keberadaan sebuah lubang hitam yang terus menyedot rasa percaya diri tinggi yang dimiliki John.

I was a jerk, an asshole, jadi sedikit banyak aku bisa nebak jalan pikiranmu. Kamu tahu ceritaku, ‘kan? Aku hanya ga pengen young men, especially you, jatuh di lubang yang sama.”

Then, tell me what to do.”

I’m not a perfect guy yang bisa kasih tahu kamu harus ngapain, John. Aku juga masih terus belajar. Kamu udah dengar banyak, belajar banyak. Kamu harus berani melangkah, melakukan hal yang benar, even if it hurts.”

John menghela napas. Matanya kemudian memandang ke arah lain, berkelana tanpa tujuan. “Tadi pagi Ko Jason ada update status BB.”

Ming yang awalnya duduk bersandar, mulai menegakkan tubuh dan bergerak lebih condong pada John. Ia tahu apa yang John maksud. Ia sudah membaca status yang diunggah oleh Jason, mentornya, yang kemudian juga mengundang John bergabung dalam kelompok mereka.

John mengutak-atik Blackberry di tangannya, menatap Ming, lalu melafalkan kalimat yang dimaksud, “The wrong why will lead you to the-”

Wrong who,” potong Ming. Ia mengingat kalimat itu di luar kepala. Kutipan dari buku yang pernah dibaca dan dibahas dalam kelompok mereka itu menjadi salah satu hal yang berulang-ulang Jason tekankan.

“Aku jadi nyadar. Selama ini aku masih salah.”

Ming mengernyit. Sejak mengenalkan John pada Jason, ia tahu John jarang bolos dari pertemuan dwimingguan mereka. Ia seorang pembelajar yang haus, tak malu bertanya, tak sungkan merunut hal-hal yang mereka bahas.

“Aku udah tahu, paham hal-hal yang Ko Jason bilang. It’s all in my head. Tapi, ternyata … itu cuma di kepalaku thok (saja). Aku masih terjebak.”

Honestly, John, kamu berubah banyak. Ko Jason juga bilang begitu.”

John mendengus geli. “Aku lihai bohongin Koko kalo gitu.”

Alis Ming terangkat, tapi bibirnya mengulas senyum. Ia mempertanyakan penilaian John pada dirinya sendiri. “Antara kamu yang lihai atau Koko yang tolol. Aku ga akan kasih lampu hijau buat seorang pembohong dekatin Tata. You know that well.”

Hell, yeah. Ko Ming medeni (menakutkan) hari itu. Lebih sangar dari interviewer di kantor.” John terkekeh.

“Kamu enggak takut gitu, loh?”

“Jantungku udah kayak mau copot waktu itu, Ko.”

Mereka tertawa terbahak-bahak, mengenang hari bersejarah itu.

“Kamu berubah, John. You … grow. Kamu lebih dewasa sekarang.”

John menunduk. “If only I can trust myself as much as you trust me, Ko.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here