“The wrong why will lead you to the wrong who.”
John tak mungkin lupa hari pertama Ming membawanya menghadiri pertemuan di rumah Jason. Dengan semua pertanyaan dan gertakan Ming, dia berpikir pastilah yang hadir adalah manusia setengah malaikat atau para orang suci yang hidupnya luar biasa.
Betapa kagetnya dia. Orang pertama yang menyambutnya berbadan gempal, sebuah tato mengintip dari balik lengan kausnya.
“Kamu pasti John. Please, come in. Ming sudah bilang kamu akan datang.”
Dia menyalami John dengan sambutan hangat dan menyilakannya masuk ke dalam rumah. Di ruang tengah terdengar suara orang bercengkrama akrab.
“Masuk aja. Mereka sudah nunggu kamu,” ucap si Gempal sambil menepuk bahu John.
John sudah tak mampu berpikir jernih, pikirannya dipenuhi kabut kekhawatiran.
Ngapain mereka tunggu aku? Aku mau diapain? John merasakan tangannya gemetar. Kakinya tetap melangkah, menyadari sepenuhnya si Gempal berjalan persis di belakangnya.
“Ah, ini dia yang ditunggu. You must be John,” seorang berbadan jangkung berdiri dari duduknya dan menghampiri John. “Welcome. I’m Jason. Kami senang banget kamu bisa join.” Lagi-lagi John menerima jabat tangan hangat.
Jason kemudian mengenalkan John kepada tiga laki-laki lain, yang juga menjabat tangannya erat. Kegugupan John membuatnya melupakan nama-nama yang baru disebutkan para pemiliknya.
“Duduk, John. Kita tinggal tunggu Ming, then we can start.” Ada ketulusan di senyum dan suara Jason. John merasa asing, tapi ada sesuatu yang membuatnya ingin tinggal. Ia mengamati dan mendengar pembicaraan di antara mereka. Feels like home.
John sering berkumpul dengan teman-teman karibnya. Namun, suasananya tidak seerat yang sedang ia saksikan ini. Acara nongkrong dengan teman-temannya diwarnai dengan tingginya frekuensi umpatan “sayang” khas Suroboyoan, tapi pembicaraan mereka … biasa saja. Jarang mereka membicarakan sesuatu yang mendalam.
Di hadapannya sekarang, tak sekalipun umpatan itu muncul. Namun, John bisa merasakan kedekatan di antara mereka, lebih karib daripada yang ia rasa bersama teman-temannya. Dalam percakapan yang kedengaran kasual itu, dia menangkap adanya perhatian yang tulus dan ikatan yang begitu kuat.
Suara bel pintu menyela percakapan.
“Aku yang bukain aja, Ko. Itu pasti Ming,” tawar si Gempal pada Jason.
Jason mengangguk ringan sambil terus melanjutkan pembicaraan dengan yang lain. Tak lama kemudian, dengan bergabungnya Ming dan si Gempal di tengah mereka, percakapan yang sesungguhnya dimulai.
“So … we welcome John to the family.” Sambutan Jason direspons dengan tepuk tangan dan pandangan ramah dari semua yang berkumpul di ruangan itu, termasuk Ming. “Please, introduce yourself, John. We want to know you better.”
John terkesima. Baru kali ini ia merasakan kalimat yang bukan sekadar basa-basi. Tatapan mata mereka menyiratkan keinginan untuk mengenalnya.
Rasanya mereka terlalu ramah. Di sudut hatinya, John berharap mereka ini bukan sebuah sekte dengan ritual menyeramkan yang sering ditampilkan di film layar lebar. Dalam hati, ia merutuki diri yang tidak bertanya dengan jelas pada Ming mengenai pertemuan ini.
“Saya John, diajak ko Michael ke sini. Baru lulus kuliah, lagi tunggu hasil interviu kerja. I guess … sementara cukup?”
“Thanks, John. Nanti sambil jalan, kamu bisa share sisi hidupmu yang lain. Senyamanmu aja,” tutur Jason. “I’m Jason. Aku leader di sini, yang dosanya paling banyak. Hahaha,” ia terbahak tanpa beban. “I’m 30, married, and expecting my first born in 8 months.”
Sontak seisi ruangan dipenuhi sorak bahagia. Beberapa yang duduk dekat dengan Jason sibuk menepuk bahu dan punggungnya, tanda turut bahagia.
“Akhirnya yaa, Ko,” si Gempal berucap sambil mengusap butiran air mata di wajahnya. Pemandangan yang sungguh janggal di mata John.
“Thanks, Guys. Ini berkat doa kalian juga.” Jason menepuk bahu si Gempal dan seorang lain yang duduk di sebelah kiri dan kanannya.
Tanpa perlu dikomando, yang lain turut mengenalkan diri. Kali ini, John berusaha keras mengingat nama mereka satu-persatu.
Si Gempal, Ardi, adalah bekas pecandu. Ronny, yang memakai kacamata tebal, mengaku lebih nyaman berada di depan komputer daripada berinteraksi dengan orang lain. Rudi dengan bibir yang menghitam dan terus mengunyah permen, ternyata teman SMP James.
Ming hanya menyebut namanya saja. “Mungkin nanti kamu punya kesempatan untuk kenal aku lebih jauh,” jelas Ming.
Pria berkacamata yang duduk di sebelah kanan Jason menutup sesi perkenalan. Handi, yang lebih suka dipanggil Han-han, newlywed yang baru pulang dari bulan madu keliling Eropa.
“Kebetulan kita lagi mulai bahas buku baru, John. Nanti kamu bisa catch up ya.”
John mengangguk sopan. Ia sedang membuat pertimbangan. Kelompok ini cukup aneh baginya. Asing, tapi karib. Hangat, tapi tak biasa.
Ia hadir karena Ming, tapi pasti ada emergency exit kalau dia tak nyaman melanjutkan, ‘kan?