Ming meletakkan ponselnya setelah mengirim pesan kepada Santi. Di hadapannya John masih melihat buku menu. Sekilas ia tampak mengalami kesulitan memilih, tapi Ming yakin bukan menu makan siang yang membuat dahinya berkerut dalam.
Déjà vu. Ming seperti terlempar pada pertemuan serupa, beberapa tahun yang lalu.
—
Siang yang amat terik. Namun tautan pandang mereka bahkan lebih dingin dari pendingin ruangan di restoran cepat saji ini.
“Kenapa Martha?” Suara Ming tidak lebih keras dari biasanya, tapi keseriusannya tak perlu diragukan.
Herannya, lawan bicaranya bergeming, tak ada perubahan di raut wajahnya. Ia masih menatap Ming tanpa sedikit pun takut terpancar di netranya.
“Kenapa enggak?” tanyanya balik dengan tenang.
“Ah. Kelihatannya benar informasi yang aku dapat.”
Alisnya terangkat, pernyataan Ming rupanya memantik rasa penasarannya.
“Mendingan kamu mundur dari sekarang. Gak usah datang ke rumah lagi. Gak usah hubungi Martha lagi. She’s too precious for you!” Ming berniat segera mengakhiri pertemuan.
“Exactly! She’s too precious! Makanya … dia.”
Kali ini giliran Ming yang diliputi rasa penasaran. Respons yang baru ditangkap telinga menjadi lem super yang tidak mengizinkan dia beranjak dari duduknya.
Bukannya melanjutkan kalimatnya, sosok itu malah mencomot kentang goreng dan sibuk mengunyah.
“Sorry, Ko. Aku lapar, tadi buru-buru interview sampe belum sempat makan.”
Ming berusaha menekan gelitik yang muncul dalam dirinya. Kemudian ia menggerakkan tangan kanannya, menyilakan lawan bicaranya makan.
“Koko enggak makan?” tanyanya sambil membuka pembungkus hamburger.
Ming mengangguk, lalu menyesap minuman dingin dan ikut menikmati makan siangnya.
“Jadi, kenapa harus Martha, John?” tanya Ming sebelum menggigit burger keju di tangannya.
“Dia beda.”
“Cliché banget. Semua bisa bilang begitu.”
John cepat-cepat meneguk minuman untuk membantunya menelan.
“I mean it. Aku gak pernah ketemu cewek seperti dia. She knows what she’s doing, why she’s doing it. Dia bener-bener beda dari cewek-cewek yang aku tahu.”
“Beda dari mantan-mantanmu?” tembak Ming tanpa ragu.
“Well … yes.”
“Jadi, kamu mau coba deketin Martha supaya tahu bedanya sama yang dulu-dulu. Gitu?”
Sejenak mereka berdua tak bicara, sibuk dengan makanan masing-masing. Ming menatap John tajam. Ia hampir percaya bahwa ketidakmampuan John menjawab pertanyaannya telah membuktikan berita yang ia terima. Dia tak jauh berbeda dengan cowok-cowok labil yang pernah mengejar Martha, lalu dengan segera mundur teratur setelah menerima gertakannya.
“Aku bisa menebak informasi macam apa yang Ko Michael terima tentang aku. Mungkin benar, mungkin juga tidak. Tapi, kali ini aku serius dengan Martha, seserius aku cari kerja dan menata masa depanku.”
John melahap potongan terakhir burgernya dan meremas kertas pembungkus.
“Wes nggak wayah e (sudah bukan waktunya) aku main-main dengan hidupku, Ko. Ya … mungkin … rodok (agak) telat buat aku menyadari … selama ini aku udah buang waktu. Aku harus mulai serius, termasuk mencari perempuan yang bisa mendampingi aku.”
“Maksudmu?” selidik Ming. Suara Ming mulai melembut, mendadak ia seperti melihat ada kemiripan antara dirinya dulu dan John.
John menyesap minumannya sambil tertawa kecut.
“Selama ini aku mencari happiness. Orang mungkin liat e (melihat) aku hidup happy. Tapi, aku nggak pernah benar-benar merasa happy.”
“Kamu pikir Martha akan bawa happiness buat kamu?”
John menggeleng. “I don’t think so.”
Wah, baru pertama kali Ming mendapat jawaban seperti ini. Semua gebetan Martha yang dia temui langsung mengiyakan jenis pertanyaan barusan, tanpa ragu.
“Terus? Ngapain kamu deketin Martha?”
John mengedik. “Not sure. Aku bahkan ga tertarik sama dia waktu pertama kali Andre kenalin kami.”
Ming tak dapat menahan tawa. “Dia segitu ga menariknya ya?”
“Iya,” tegas John. “Tapi begitu udah kenal, ada sesuatu yang beda dalam dirinya. Opposite attracts mungkin ya, Ko.”
Diam-diam, Ming mengagumi laki-laki yang beberapa waktu ini rajin berkunjung ke rumahnya. Dengan lugas ia bertutur soal keraguannya. Ia tidak terdengar bimbang, bahkan masih dengan santai menikmati potongan demi potongan kentang goreng sambil bercakap-cakap.
Mungkin saja penilaiannya terhadap John tidak sepenuhnya benar. Mungkin saja rekomendasi Andre beberapa waktu lalu ada benarnya.
John itu ya begitu, Ko. Casing-nya mbois, tapi dia bukan tipe bermuka dua. Mulut dan hatinya sama. Kalo dia neko neko, aku ga bakal kenalin ke Martha.
“Jadi, sak jan e (sebenarnya) kamu cari apa? Happiness atau Martha?”