Episode 3
Beberapa menit memperhatikan gerakan jemari Winnie yang meremas bantal sofa kemudian dagu saya anggukan. Tanda persetujuan atas permintaannya disusul pelukan hangat disertai aroma strawberry yang tercium dari lipatan rambutnya. Benar persetujuan ini karena ketidak-inginan menambah beban seorang single parent dengan urusan cinta masa lalu nya. Winnie sudah cukup lelah dengan hiruk pikuk masalah keuangan yang dicetuskan sejak dia memutuskan meneruskan pertumbuhan janin yang dikandungnya.
Untuk menyakinkan keluarga besar untuk menyetujui pilihannya bukan hal yang mudah bagi perempuan seusia Winnie. Bagaimana tidak, jika untuk membayar uang sekolahnya saja orangtua nya harus membuka warung Cakwae selama 24 jam. Para pelanggan termasuk Nadia melihat sendiri bagaimana pucatnya wajah pak Anwar saat menggoreng berkilo adonan. Kantong mata tua nya bertambah tebal menghitam sejak Winnie dikeluarkan dari sekolah kami karena berbadan dua. Kami saling mengenal karena pak Anwar teman karib adik ibu sejak di desa Bagelan JawaTengah. Ya kami perantau yang terpaksa merantau.
Kedai berlapis putih karamel ini dibangun salah satu nya karena kami jenuh melihat tumpukan Cakwee tak menyusut walau hari hampir berganti angka. Bermodal membersihkan sendiri rumah terlantar warisan kakek Nadia di seberang stasiun kereta, maka setengah tumpukan cakwee beralih di etalase kedai. Pak Anwar tetap berjualan di ujung jalan tapi hanya enam jam. Winnie dengan perut buncitnya tak perlu berpeluh lagi saat menggoreng cakwee. Dapur Kedai Bagelan & Kopi sudah lengkap dengan hembusan penyejuk ruangan.
Sejak awal Cakwee memang jadi menu wajib sehingga hanya satu dua tamu saja yang mempertanyakan kehadiran kudapan di antara etalase Bagelan. Sodoran gratis sepotong Cakwee dengan topping sambal asam cair khas Jawa Barat, selalu sukses menjadikan mereka pelanggan baru tanpa banyak bertanya. Cakwee lebih banyak digemari para remaja dan anak sekolah yang memuja kudapan berminyak. Bagelan dalam kotak kemasan banyak diincar para penumpang kereta jarak jauh sebagai tanda mata dan alhasil kinerja aktifnya kompor dengan oven memang bersaing ketat. Tapi kedai tak berubah namanya.
Setelah pelukan melonggar dan aroma strawberry mulai menghilang, ahkirnya, ibu jari dengan cincin perak bergerak lincah menyentuh layar beberapa kali. Raut pucat Daniel tak juga berubah dari foto profil kontak telepon yang tersimpan, memang kemungkinan Rahel akan mengenali Daniel sangat besar. Jika kemungkinan kecerdasaan anak menurun dari pihak ibu, maka raut wajah perempuan banyak menyerupai pihak ayah.
“Daniel, sebentar lagi jadwal terbaru akan aku kirimkan ke email mu. Iya, mulai besok berlakunya. Terima kasih.”
Entah apa reaksi Nadia jika mengetahui situasi kerja di kedai yang akan dijalani ke depannya. Rahel kerap menghabiskan waktu bermainnya dengan mengisi penuh buku gambarnya di kursi tinggi barista kala mamanya sibuk menggoreng Cakwee. Dengan adanya Daniel walau berbeda jam kerja maka kemungkinan Rahel datang ke kedai akan bekurang. Beginilah ketika masalah masa lalu belum terselesaikan, masa kini jadi tidak tenang dan masa depan seperti akan suram.
Benar kata pendeta Yoab saat ibadah mengantar ayah di crematorium, “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa, janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu dan janganlah beri kesempatan kepada iblis.”