Martha sedang berjongkok di hadapan seember baju kotornya.

Salah sendiri jual mahal. Bingung, ‘kan? Masih sempat ia merutuki diri sendiri. Kalau saja tadi dia tidak meladeni gengsinya.

Setelah sarapan tadi, ia membawa setumpuk baju ke belakang rumah.

“Mau dicuci, Ta? Sini, Ibu cucikan sekalian,” tawar Ida yang sedang menjemur pakaian.

Sejenak Martha merasa kikuk. Ia menatap Ida sambil membayangkan Bik Karti yang biasanya mencucikan baju-baju mereka di rumah. Rasanya tak pantas membiarkan Ibu melakukan pekerjaan itu baginya.

Ibu ga sama dengan Bik Karti, Ta.

“Em … ga usah, Bu. Saya bisa cuci sendiri, kok.”

Sedetik kemudian penyesalan mulai muncul dari balik layar, mengejek Martha yang kebingungan. Ia baru menaruh baju-bajunya ke dalam ember ketika suara lantang dari luar pagar memecah keheningan.

“Bu Ida!”

“Ya, sebentar!” Ida meninggalkan ember yang telah kosong dan beranjak menuju halaman depan.

Martha masih sibuk membalik baju-baju ketika Ibu mendekatinya.

“Ta, Ibu mau pergi sebentar. Diajak Bu Yani nengok tetangga yang sakit. Ibu tinggal, ya.”

“Ya, Bu, hati-hati.”

Ida tersenyum dan meninggalkannya sendiri. Martha mulai memutar otak, mencoba mengingat cara Bik Karti mencuci. Sial! Dia baru ingat Bik Karti tak lagi menggunakan tangan kosong untuk mencuci. Mamanya membeli mesin cuci yang cukup canggih untuk melakukan pekerjaan berat itu.

Ya, berat. Martha baru menyadari betapa beratnya celana jin basah yang ada di tangannya sekarang. Satu-satunya ide yang muncul di kepala Martha adalah cara mengucek baju yang dia sering lihat di televisi. Dia selalu mengira mencuci pakaian adalah pekerjaan yang mudah. Terlihat sangat effortless. Para bintang itu juga selalu tampil cantik di hadapan ember berbusa, bukan?

Sembari mengomeli dirinya sendiri, tangan Martha terus bekerja. Ia baru menyadari, selama ini praktis dia tak pernah menyentuh pekerjaan domestik di rumah.

Mungkin Bayu benar.

Malam itu, setelah membantu mencuci piring, Martha melihat Bayu di halaman samping. Ia duduk bersila di atas bangku kayu panjang yang letaknya persis di bawah jendela samping rumah. Sinar lampu dari dalam menyorot sosoknya dari belakang.

Saat melihat Bayu, Martha tidak bisa tidak teringat akan papanya. Tubuh jangkung. Rambut belah samping yang tersisir rapi. Keserupaan itu sulit diabaikan. Bahkan postur tubuh saat duduk pun mirip. Bayu seperti versi muda dari … Ah Lung.

Ini kesempatan Martha untuk memulai pembicaraan. Sejak pertemuan pertama mereka di siang harinya, Bayu belum bicara sepatah kata pun.

“Ta, Ibu minta tolong, kasihkan kopi ini ke Mas Bayu ya,” pinta Ida sembari menyodorkan secangkir kopi hitam.

Mas Bayu. Sejak tadi Martha bingung bagaimana harus memanggilnya. Dari kecil ia hanya mengenal satu Koko, dan ia tak berminat menambah satu lagi. Satu saja sudah cukup membuatnya merasa terkekang. Ia tak butuh tambahan bodyguard. Di kampus, dari masa orientasi ia dibiasakan memanggil para seniornya “Kakak”. Namun, rasanya tak cocok memanggil Bayu demikian.

Martha melangkah membawa cangkir itu, mendekat pada Bayu. Sekalipun bayangannya sudah lebih dahulu mengumumkan kehadirannya, Bayu bergeming. Seakan tidak tertarik pada sosok yang mendekatinya.

“Mas Bayu, ini kopi dari Ibu.”

Bayu masih tak menoleh dan tak melakukan apapun untuk menyambut cangkir itu.

“Saya taruh di sini ya, Mas,” ujar Martha sambil duduk di bangku dan meletakkan cangkir di antara dirinya dan Bayu.

Seakan tahu dua manusia itu sulit berkata-kata, para jangkrik mengisi ruang terbuka dengan paduan nyanyian mereka.

Dingin. Martha tidak hanya merasakan udara pegunungan yang makin menusuk, ia juga merasakan tembok es tak kasat mata yang ada di antara dirinya dan Bayu.

“Mas Bayu, kerja di mana?” Martha berbasa-basi memulai.

Bayu hanya terdiam, menunduk memandangi jari-jari kakinya.

“Tempat kerjanya dekat ya?” Martha menduga demikian, mengingat Bayu bisa pulang ke rumah untuk makan siang tadi.

Bayu masih tak menjawab. Pertanyaan itu seperti terbang dibawa angin dan mendapat jawaban dari seekor tokek dari kejauhan.

Canggung.

Martha menghela napas perlahan. Usahanya tak membuahkan hasil. Pertanyaan apa yang bisa membuat Bayu membuka mulut?

“Anak manja kayak kamu mendingan pulang aja. Ga usah urus hidup orang lain.”

Kalimat itu terucap dengan amat ringan dari mulut Bayu, seakan tanpa beban dan perasaan. Ia bahkan tak terdengar sedang menyindir atau mengusir Martha.

Namun, tetap saja hati Martha seperti tercubit, nyelekit.

Alih-alih dikuasai sakitnya ditolak, Martha memaksa pikirannya bekerja. Kedua tangannya saling meremas, seakan ingin memberi sumbangsih agar otaknya menghasilkan sesuatu yang dapat menolongnya mengarahkan pembicaraan.

“Mas Bayu … enggak suka–”

Bayu mendengus keras, menyela kata-kata Martha. Martha tak butuh mendengar kata-kata dari mulut Bayu untuk mengetahui jawaban pertanyaannya.

“Enggak usah sok baik. Kamu sama aja dengan mereka.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here