“Narapidana Ta! Dipenjara narkoba! Gila kamu menerima dia bekerja di kedai ini! Kalau pelanggan tahu dan takut membeli Bagelan kita gimana?”
Getaran dari mulut Nadin terasa menyelusup ke gendang telinga dalam hitungan detik saja. Jarak kami yang terpaut sepuluh langkah serta terhalang setengah pintu kaca tak terhitung menghambat ternyata. Alis mata Nadin memang selalu bertemu di pangkal nya tapi kali ini berhasil lebih mendekati satu sama lain. Tak heran perempuan keturunun Pakistan ini tak perlu bangun subuh untuk menggambar alis seperti diriku.
Yoga yang berada di sampingku hanya mengelengkan kepala, “Gih temui nenek lampir itu dulu. Entar adonan roti ogah mengembang loh kalau aura nya sampai sini!”
Terburu mencuci jemari, melepaskan penutup rambut, melipat celemek dan beringsut membuka pintu dapur yang serta merta menghadirkan aroma selain panggangan roti. Perempuan berambut ikal merah brundy sudah berdiri bersadar di ujung meja kasir. Kesan masih sama seperti lima menit saat wajah dan separo badannya menyembul dari balik pintu penghubung ruang barista dengan dapur.
“Tata, kok kamu membisu? Apa terkena pelet nya? Seberapa tampan sih lelaki itu? Masa seperti Gong Yun idolamu itu? Kalaupun iya jangan pakai perasaan dong Tata. Ingat baru lima hari lalu kamu dikhianati berondong tak berduit!”
Tepukan empat jemari minus ibu jari kanan mendarat ke dahi ku. Kebiasaan perempuan yang mengikat rambut keritingnya ke atas, saat bercakap dengan takaran marah lebih. Awalnya sedikit risih tapi ternyata bahasa kasih nya memang dengan sentuhan dan ucapan bernada tinggi. Komunikasi dua tahun sebagai rekan investor beraroma saudara tak kandung menjadi lancar saat saling kompromi. Hanya saja entah kenapa hari ini tingkat penterjemahan salah satu emosi nya begitu jelas lewat lisan.
Saya beralih dari meja kasir ke kumpulan sofa tepat di tengah kedai. Pengunjung lebih memilih ke sudut-sudut kedai di mana colokan listrik mudah di akses, dan hasilnya sofa tengah menjadi sarang kami saat belum ada pelanggan memesan kopi kembali. Langkah flat shoes Nadia terdengar mengikuti sepatu sandal ku.
“Tipe calon suami ku kan blonde Nad, bukan yang tak berambut begitu. Lagipula sudah mantan, bukan lagi pesakitan. Selalu ada kesempatan kembali kehidupan yang biasa bukan!”
Seiring balasan Nadia, sofa hijau tua terdengar merintih saat tertimpa badan nya yang tambah makmur semenjak menikah, “Tetap saja pernah berbuat kriminal Ta! Kamu tak takut tetiba minum kopi beracun?”
Tak ingin menambah kerutan di dahi Nadia, meluncur lah, “Yah berarti memang sudah masa saya pindah dari bumi! Haha, tenang Nad, sore ini kamera pemantau akan dipasang di dapur, meja saji, kasir bahkan lorong toilet!”
Sebelum bulatan mata berlensa di hadapanku semakin melebar, buru-buru aku menambahkan, “CCTV nya investasi dari tabungan ku sekalian Nad, kita percobaan dulu tujuh hari ya. Kan ada tertulis tuh Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!”
Belum sempat Bumil muda kembali bersuara, saya membenamkan diri di sebelahnya seraya mengelus calon keponakan di perut nya. Senjata pamungkas yang selalu berhasil seperti yang suaminya pernah katakan saat makan malam bertiga. Iya bertiga karena masih saja nyaman seorangan.