Martha dan Ming berjalan menyusuri lorong Pasar Atom, sebuah pusat perbelanjaan di daerah Pecinan Surabaya. Beberapa langkah di depan mereka Lingga, Lanny, dan Santi sibuk window shopping. Setelah pertemuan keluarga yang begitu intens, Lanny mengajak mereka pergi belanja bersama.
Sungguh, penawar dan perekat yang luar biasa!
“Nih para ibu mau belanja apa tho* benernya?” Kaki Ming mulai pegal.
“Baru pertama kali nganter ibu-ibu ke Pasar Atom?”
Ming mengangguk.
“Lah, dulu mau kawinan, Koko nggak antar Mama sama Saosao ke sini?” Martha bertanya heran. Ia ingat menjelang pernikahan Ming dan Santi, Lingga pergi ke tempat ini dua sampai tiga kali dalam seminggu.
“Dulu Papa yang anter, Koko jaga toko.”
“Anak durhaka kamu, Ko! Bisa-bisanya Papa yang nganter Saosao ke sini?” Martha menyikut pinggang Ming.
Ming sontak mengalungkan lengannya ke leher Martha dan mengacak rambut adiknya dengan tangannya yang lain.
“Ko! Ampun deh!” Martha mendorong Ming menjauh lalu membenahi ikatan ekor kudanya. “Masih lumayan ini adem di Atom Mall. Coba kalo belanjanya di Atom lama, amsiong* kamu, Ko!”
Ming hanya manggut-manggut.
“Laper ga, Ta?”
“Ya iyalah. Ini hampir jam 12.”
“Mau itu nggak?” Ming menaikkan alisnya jail.
“Itu di Atom lama, Ko.” Martha menangkap maksud kokonya. “Katanya habis ini mau ke foodcourt atas? Bolak-balik capek, tahu.”
“Kita pergi beli bentar, lah. Nanti langsung ketemu sama mereka di foodcourt.”
Tak menunggu jawaban Martha, Ming segera melangkah lebih cepat, mengejar rombongan di depan. Tak lama ia kembali membawa beberapa kantung belanjaan dan mengajak Martha keluar dari area mall. Udara panas Surabaya langsung menyambut mereka.
“Gimana skripsimu, Ta?”
Mereka sedang berdiri dalam antrian mengular di depan kedai yang menjual berbagai macam gorengan. Ming sudah memesan dan membayar, mereka sedang menunggu pesanan dibungkus.
“Mentok. Buntu. Masih nggak konsen kerjain.”
Segera setelah menerima pesanan, Ming membuka kotak kertas berwarna hijau berisi jajanan favorit mereka. Ia menyodorkannya pada Martha. Tak menunggu lama, Martha yang sudah menyiapkan tisu mengambil dua potong cakwe isi.
Ia menunggu Ming menutup kotak dan menyimpannya dalam kantung plastik sebelum menyodorkan salah satu cakwe itu pada kokonya. Mereka menikmati cakwe panas itu sambil melangkah.
Ming menoleh sejenak. “Mentok, karena hatimu enggak ada di sana.”
Martha tak menjawab; mulutnya sibuk mengunyah, pikirannya sibuk mencerna.
Mereka sudah memasuki foodcourt dan segera menemukan tempat duduk. Martha mengambil tisu basah yang selalu ada di dalam tasnya lalu membersihkan meja. Sebenarnya tidak ada kotoran di atas meja itu, tapi Martha merasa tak afdol bila tak membersihkannya sendiri. Ming hanya tersenyum simpul melihat tingkah adiknya.
“Kayaknya yang perlu dilap itu bukan mejanya. Ini nih.” Ming menunjuk pelipis Martha lalu duduk tepat di sampingnya.
Martha menoleh penuh tanya pada Ming.
“Koko betul atau betul, Ta?”
—
Meja di hadapan mereka sudah penuh makanan. Sepertinya Lingga dan Lanny memesan dari setiap kios makanan. Mie Santong, lontong mie, rujak cingur, nasi bakar, tak ketinggalan jus kopyor dan es campur. Cakwe isi yang dibeli Ming tadi juga ikut meramaikan menu makan siang mereka.
“Cewek atau cowok, San?” Lanny bertanya sambil menikmati sate kerang yang menemani lontong mie di hadapannya.
“Belum tahu, Ku. Mungkin bulan depan baru tahu.” Santi mengelus perutnya.
“Ya, cewek atau cowok, podo ae*, kok. Tergantung kalian mendidik nanti. Kayak mamamu ini, hoki banget. Punya anak laki yang perhatian, anak perempuan juga ga bikin repot.” Lanny masih mendominasi percakapan. Ia menatap lekat Ming, Santi, dan Martha yang duduk berderet berhadapan dengannya.
Lingga hanya tersenyum tipis mendengar perkataan Lanny yang duduk di sampingnya. Ia sungguh bersyukur melihat anak-anaknya tumbuh dewasa, menjadi pribadi yang baik dan bertanggung jawab. Mereka menjadi penghiburan baginya, tetapi terkadang juga menjadi pengingat akan figur suami yang meninggalkannya.
“Wes-lah*, Sao, ndak usah sedih terus. Anak-anak lu ciamik gini, punya mantu baik juga. Habis ini, punya cucu. Ojo* sedih terus.”
Lingga mengusap air matanya, “Ya, butuh waktu, Lan. Mana bisa langsung enggak sedih?”
Lanny mengangguk-anggukkan kepalanya, sedangkan tiga orang di hadapannya hanya menunduk. Pembicaraan semacam ini tak mudah bagi mereka. Mudah bagi orang lain menasihati mereka untuk tegar dan kuat. Nyatanya, menjalani hari demi hari tak pernah sesulit ini.
“Eh, Ta, kamu sudah skripsi, ‘kan? Habis ini wisuda ya?”