Sudah hampir tiga puluh menit mobil John berhenti di depan rumah Martha. Siang tadi John menerima pesan singkat dari Martha, ada hal serius yang ingin dia bicarakan. Namun, sejak John menjemputnya sampai mereka kembali dari makan malam, Martha tidak juga angkat suara.
Baru ketika John akan membuka pintu mobil, berniat mengantar masuk, tangan dingin Martha menghentikan niatnya dan kalimat-kalimat panjang Martha menyita perhatiannya.
Pandangan John menerawang menembus kaca depan mobil. Martha masih berusaha menjelaskan rencananya, tapi John sudah tak bisa menangkap kata-kata Martha sejak lima menit yang lalu.
Bulan bersinar terang, tidak ada awan gelap di langit. Mereka seperti sudah meninggalkan angkasa dan berpindah ke pikiran John.
“Bentar, Babe. Let me make it clear; jadi kamu mau cari orang yang namanya Bayu ini?” John bertanya tanpa menengok Martha.
“Iya.”
“Tapi, kamu enggak tahu dia ada di mana?”
“Enggak tahu.”
“Enggak tahu orangnya kayak apa?”
“Enggak.”
“Enggak tahu pasti apa yang kamu cari?”
“Hm.”
“Terus buat apa kamu pergi?” John mengarahkan tubuhnya menghadap Martha.
Dia tak menatap John, tapi pandangan itu … John mengenali kebulatan hati yang terpancar dari mata Martha, keyakinan untuk mencari hal yang ia sendiri tak tahu apa. John mengamati Martha lebih lekat, menemukan ada keraguan yang mengintip di balik tekad kuat itu.
“This is so NOT you, Babe. Kita mau ke TP* ae*, kamu udah susun rencana mau ngapain, mau ke mana, mau makan di mana. All is set, semua sesuai schedule yang kamu susun. Itu kita cuma jalan-jalan loh. Sekarang mendadak kamu mau pergi tanpa ada rencana, tanpa ada kejelasan. Bonek* banget!”
“Ya, mungkin aku lagi consider joining ‘Bonek’?”
Alis John terangkat, sengit. Matanya setengah melotot, memandang Martha dengan keheranan yang dibumbui kegeraman.
“Kamu sering bilang aku jadi cewek kaku banget. Sekarang aku mencoba untuk fleksibel, kamu juga enggak suka?”
“Babe, bedain antara fleksibel dan nekat. Itu dua hal yang berbeda. Ini bukan fleksibel. I don’t know how to describe it. Impulsif? Sembrono? Ngawur? Pokoknya aku enggak suka. Gak setuju!”
“Aku enggak lagi minta izin, John. Ini bukan permohonan, tapi pemberitahuan. Aku tetap akan pergi. I need to go. I have to go. Beberapa waktu ini aku … enggak yakin dengan diriku, John. Seperti … ada bagian diriku yang hilang. I feel so … broken.”
John mengulurkan tangan dan menyentuh pipi Martha, mengusapnya lembut.
“Kamu jauh dari broken, Babe. You are perfect. My perfect Martha.”
Ada kesungguhan di suara John. Tak pernah ia bermimpi mendapat pacar sesempurna Martha.
Bintang kelas, tidak lemot seperti Jennie, pacar pertamanya. Berpendirian, tidak plin-plan seperti Rissa yang bahkan minta John memilihkan universitas dan jurusan kuliah. Martha tidak ganjen, tidak seperti Mona dan Agnes yang mengejarnya tanpa lelah selama kuliah dulu, atau Lusy yang sering melempar kode padanya di kantor.
Yang paling penting dari semua itu, Martha langsung mencuri hati papa dan mamanya.
Dalam hidupnya yang biasa-biasa, kehadiran Martha memberi warna yang luar biasa. John, si happy-go-lucky guy, akhirnya bisa melihat masa depan yang lebih cerah, bersama Martha di sisinya. Finally, ada sesuatu yang bisa dibanggakan dari hidupnya. His trophy girlfriend.
Sejak kecil, orang selalu membandingkan dirinya dengan James, kokonya yang serbabisa. Ia tak mau menjadi bayang-bayang James. Ia selalu lari menjauh dari sosok James, mencari tempat aman yang tak terjamah kokonya.
Waktu James resmi masuk dalam tim basket sekolah, John langsung menghindari ekstrakurikuler olahraga. Sekalipun guru olahraga dan beberapa coach olahraga di sekolah membujuk dan merayunya untuk masuk dalam tim mereka, John bergeming, ia tidak akan masuk dalam teritori di mana James bersinar.
Seisi sekolah mengenal James sebagai ketua OSIS yang tegas dan berkarisma. Sedangkan John sengaja menampilkan sisi manis dirinya dan menaklukkan banyak cewek dengan rayuannya.
Saat James diundang menjadi pianis tunggal oleh salah satu orkestra di kota Surabaya, John memutuskan untuk membuang gitar kesayangannya. Ia menolak mentah-mentah ajakan ikut dalam band di gereja dan mengambil langkah seribu dari pelantang suara. Ia hanya menyanyi di kamar mandi dan di mobil, menyanyi untuk dirinya sendiri.
Ketika James memutuskan untuk kuliah di luar negeri, John dengan mantap menolak tawaran dan bujukan mamanya untuk mengikuti jejak James. Ia bahkan tak melirik perguruan tinggi di kota lain.
John adalah antonim dari James. Mereka seperti magnet dengan kutub yang sama, saling menolak dan saling menjauhi. Kalau James ke kanan, John pasti melangkah ke kiri. James dan John seperti matahari dan bulan; berkaitan, tetapi tak pernah berdekatan.
John selalu berusaha memastikan tak ada hal yang bisa digunakan orang untuk membandingkan dirinya dengan James. Ia pasti kalah.
Maka John seperti terbang ke angkasa, ketika papa dan mamanya memberikan approval pada Martha. Sekali ini, dia berhasil mengalahkan kokonya yang betah menjomlo. Hatinya berbunga-bunga ketika ia tidak sengaja mendengar pembicaraan mamanya dengan James di telepon.