Sebenarnya kekuatiran Nadia juga sempat terasa dalam diri kala Daniel menjawab dengan nada datar pertanyaan tak terencana dua hari lalu. Beberapa menit sebelumnya jam dinding bersuara 11 kali sewaktu titik air menjejak di kaca kedai. Belum musim penghujan sebenarnya tapi langit sudah bersemangat mencurahkan air berkat nya. Para pemegang tiket stasiun memang sering tidak banyak berbelanja roti jika sudah gerimis begini. Kekuatiran akan ketinggalan kereta meningkat kala hujan. Ah manusia!
20 bongkahan Bagelan di etalase masih nampak ceria seakan tak melihat kalau pembuatnya sedang melamun patah hati. Apalagi saat gerimis tanpa undangan datang, hasilnya gemerincing pintu kedai hanya terdengar lima kali. Sebelum berhasil memenuhi hasrat meneguk kopi yang baru selesai terseduh, terdengar gemerincing. Serta merta memasang lengkungan bibir sebelum punggung berbalik dan bersiap menyapa.
Pemandangan yang tersaji ternyata mendatarkan lengkungan serta menghentikan sejenak kalimat yang terencana meluncur, “…ada yang bisa saya bantu mas?”
“Daniel. Di pintu kedai tertempel pengumuman tentang penerimaan pramusaji baru. Dua tahun pernah bekerja sebagai barista, dan tak berkeberatan memulai dari awal di kedai ini. Ini rekomendasi pemilik kafe.”
Selembar kertas diletakan di meja dimana dibaliknya masih saja aku berdiri terpaku. Bagaimana tidak jika lelaki tak dikenal tetiba sudah berdiri tegak dengan kemeja putih basah tergulung tak rapi senasib dengan celana panjang berkerut. Sejenak satu lirikan mata saja sudah terlihat alur air hujan menggenang dari area pintu sampai di permukaan meja barista.
Sempat terpikir akan meminta dia keluar toko, tapi saat kaca mata hitam dilepaskan nampaklah sorot matanya tak teralihkan dari penglihatanku. Tak asing tapi memori tak kunjung mengalirkan data di kesadaranku. Urung menggali memori karena leher lelah harus mendongak dan beberapa pelanggan terlihat memperhatikan gerak-gerik kami.
Pertanyaan kedua dan terahir ahkirnya bisa terucap juga sembari memperhatikan kumis tipis senada dengan jumputan rambut yang tersembul di pinggir topi. “Eh…tertulis di sini terahkir bekerja lima tahun lalu. Kekosongan waktu anda bekerja dimana selama itu?”
“Membuat meja dari kayu yang disediakan oleh lembaga. Ada pelatihan ketrampilan setelah jam sarapan selesai. Apakah nona perlu surat rekomendasi dari pak sipir juga?’
“Sipir? Sipir penjara?”
“Iya.”
“Sipir penjara?”
Hanya ada beberapa peristiwa yang membuat saya sudi mengulang pertanyaan dan kali ini termasuk di dalamnya ternyata. Kalimat terahkir lelaki itu seperti mendorong sebuah ingatan terdalam dari gudang kesadaran.
Iya, kalimat dan sorot mata lelaki tersebut tak berbeda dengan sinar mata ayah saat ibu membuka pintu apartemen tiga tahun lalu. Tak heran mengapa tak terlihat asing. Karena alasan itu juga kertas pengumuman di pintu kedai langsung saya copot begitu Daniel berlalu menuju salon pria di seberang jalan. Dia setuju membersihkan diri sepantasnya sebelum dua hari mulai berseragam dengan emblem Bagelan emas.
**
“Kenapa Ibu mau menerima kembali walau tangan ayah berlumuran darah? Ibu tahu apa kata teman-teman sekolahku!”
“Ayah melakukan itu karena mempertahankan diri dari perusuh toko kita. Masa ibu menolak sesorang yang telah melindungi kita ta! “
“Darah tetap darah bu apapun alasannya. Ibu kan tahu bagaimana Tata susah payah mendapatkan beasiswa di sekolah Internasional. Bagaimana kalau pihak sekolah tahu kalau ayah Tata narapidana!”
“Mantan Ta. Ayahmu sudah bertanggung jawab atas perbuatannya. Sepertinya bukan menguatirkan beasiswa tapi Tata malu punya ayah mantan narapidana ya?”
Kelebatan argumentasi setahun tiga tahun lalu kembali berkunjung lengkap dengan sesak dada yang terjadi saat itu. Gelas coklat susu sudah terisi untuk ketiga kalinya sejak raga ini memasuki apartemen tapi ternyata pikiran ini masih tertinggal di kedai. Ah manusia acap kali belum bisa hidup di momen detik ini. Pikiran mereka melayang ke masa lalu dan menerka masa depan hingga berharap bisa berpindah mengubah apa yang sudah terjadi serta menciptakan apa yang akan terjadi.
“Ibu, Tata ke krematorium dulu. Tata kangen ayah!”