Apakah salah selalu berusaha menjadi yang terbaik? Bukankah merupakan sebuah kebanggaan menjadi pribadi yang unggul dan berprestasi?
Di lain sisi, perasaan harus selalu menjadi yang terbaik dan terunggul ternyata bisa sangat melelahkan. Ketakutan akan gagal atau kalah ternyata sedemikian rupa membebani batin dan pikiran.
Kesimpulan itulah yang saya ambil dari pengalaman murid-murid saya berikut.
Suatu ketika, seorang murid yang terbiasa mendapatkan nilai bagus, mendapat nilai yang tidak sesuai dengan harapannya.
Kekecewaan tidak bisa disembunyikan ketika ia menyampaikan keluhan, “Bu, kok cuma segitu nilai saya?”
Saya menjawab, “Iya, Nak. Ada jawaban yang masih kurang tepat.”
“Aduh, Bu. Kok kecil begitu nilai saya? Nanti kalau ditulis di rapor, kan, jelek, Bu, nilai saya.”
“Kan Ibu bisa tambahkan nilai yang lainnya. Lagipula nilai bukan segalanya, kok. Yang terpenting kamu memahami materi pelajarannya.”
Setelah saya ajak bicara, murid saya itu akhirnya menceritakan bagaimana ia akan mendapatkan perlakuan tidak baik dari orang tuanya bila nilainya kurang memuaskan. Orang tua menuntutnya untuk selalu mendapat hasil dan nilai terbaik. Karena dituntut demikian sejak kecil, murid saya terbiasa. Ia merasa harus menjadi unggul dalam nilai-nilai mata pelajaran di sekolah.
Murid saya yang lain tiba-tiba datang menemui saya di kantor dan mengajukan cuti sekolah.
Karena sempat sakit dan dirawat beberapa hari di rumah sakit, murid saya memang tertinggal beberapa mata pelajaran. Namun, keputusannya untuk mengajukan cuti sangat mengagetkan bagi saya.
Hanya karena tertinggal beberapa hari di mata pelajaran, ia takut tidak bisa mengikuti lagi pelajaran-pelajaran yang tertinggal itu. Lantas, cuti sekolah menjadi pilihan yang tepat untuknya?
“Hanya karena tertinggal mata pelajaran, kamu memutuskan untuk cuti?” saya bertanya, penasaran.
Murid saya menyampaikan bahwa dia adalah tipe anak yang selalu berusaha mendapatkan hasil sempurna. Sedikit saja tertinggal, dia resah, merasa dirinya tidak lagi sempurna.
Mengurut lagi hingga ke masa kecil, ia bercerita bahwa Oma-nya selalu menuntut untuk mendapatkan hasil prima di sekolah. Jika mendapat nilai kurang baik, Oma tidak segan memberi hukuman kepadanya.
Doktrin kesempurnaan itu terekam begitu rupa di memori murid saya, membuatnya bertahun-tahun memaksa diri untuk terus menjadi sempurna dan unggul di pelajaran sekolah. Lebih dari itu, ia menjadikan keberhasilan mendapatkan nilai yang sempurna sebagai tujuannya bersekolah.