Selesai studi lanjut, bukan berarti ‘penyakit’ workaholic saya sembuh. Saya malah menemukan ‘pekerjaan’ baru. Lepas jam kerja rutin, saya lalu aktif mengajar sebagai dosen.
‘Penyakit’ saya semakin parah setelah berpindah ke tempat kerja baru (tempat kerja saat ini).
Sebagai seorang marketer, pekerjaan baru saya menuntut saya untuk bepergian ke luar kota, bahkan luar pulau. Saya jadi sering meninggalkan keluarga untuk jangka waktu lama. Dua minggu, bahkan pernah satu kali, hingga tiga minggu lamanya.
Saya memang memanen hasilnya.
Dengan harga yang tidak murah.
Hubungan saya dengan anak-anak, itu harganya.
Saya tidak punya kedekatan, baik dengan anak pertama maupun kedua.
Anak kedua saya bahkan tidak mau digendong oleh saya.
Suatu ketika, istri saya mengajak saya bicara secara pribadi. Saya masih ingat apa yang ia katakan waktu itu.
“Tim, waktu kita untuk anak-anak sangat terbatas. Kita bisa dekat dengan anak-anak maksimal sampai usia mereka 12 tahun. Setelah mereka di SLTP, apalagi SLTA, mereka akan punya banyak teman. Dan mereka akan pergi dengan teman-teman mereka.”
“Ingatlah, anak-anak juga butuh figur seorang ayah dalam kehidupan mereka.”
Perkataan istri saya ‘menempeleng’ saya dengan keras. Apalagi saya sudah merasakan sendiri, anak saya tidak mau digendong ayahnya.
Baca Juga: Karena Waktu Tak Bisa Diputar Kembali, Kau dan Aku, Pakailah untuk yang Paling Berarti