Banyak orang berpikir bahwa harta terbaik di dunia hadir dalam bentuk kepemilikan. Uang dalam jumlah banyak, rumah, apartemen, vila dan properti lainnya, pesawat pribadi, mobil, motor, dan benda-benda lainnya.

Apakah pemikiran tersebut salah? ‘Tidak salah’, sah-sah saja malah.

Apalagi bagi orang-orang yang pernah mengalami kesulitan ekonomi atau hidup dalam kemiskinan. Mereka yang harus mengalami cibiran atau hinaan dari orang lain, menjadikan hidup mereka semakin berat dan tidak menyenangkan.

Kondisi sulit itu membentuk mereka hingga menjadi manusia yang mempunyai motivasi tinggi dan tekad kuat.

“Kelak, saya tidak akan lagi hidup susah.”

Mereka terpacu, bekerja mati-matian.

Saya adalah salah satu orang yang pernah mengalami: Dicibir dan dihina karena kondisi ekonomi.

Status ekonomi keluarga saya kala itu tergolong biasa-biasa saja. Namun, karena ayah saya sempat tidak bekerja selama beberapa lama, kondisi ekonomi keluarga menurun hingga benar-benar terpuruk.

Di tengah kesulitan, keluarga kami ditinggalkan. Tidak hanya oleh kerabat, tetapi juga famili. Kenyataan itu sangat memukul dan membuat saya memegang prinsip, hidup harus berhasil dan punya uang banyak.

Fokus utama saya saat itu hanya satu: bekerja keras dan membuktikan bahwa saya bisa sukses.

Saya bekerja dengan giat, mati-matian, tanpa henti. Saya menjadi seorang workaholic.

Walaupun saat itu saya sudah mengenal Tuhan dan tahu prinsip ora et labora (berdoa dan bekerja), saya memilih mengejar sukses dengan kekuatan saya sendiri.

Saya benar-benar gila kerja. Dan kebiasaan itu tetap terbawa sampai menikah bahkan hingga saat kami dikaruniai anak pertama.

Di samping workaholic, saya juga tergolong pribadi yang tidak mudah puas dengan gelar akademik yang sudah saya raih. Itulah sebabnya saya meminta izin istri untuk melanjutkan studi S-2.

Pertimbangan saya, mumpung anak masih kecil. Anak pertama saya masih berusia satu tahun saat itu.

Dengan persetujuan istri, saya pun melanjutkan studi program Magister Manajemen.

Selesai bekerja, saya langsung kuliah. Senin hingga Jumat, begitu rutinitas saya. Saya baru bisa tiba di rumah kira-kira pukul 23.00 setiap malam. Bahkan, kadang Sabtu pun saya harus masuk kelas.

Untungnya, kuliah hanya membutuhkan waktu satu setengah tahun sehingga saya tidak perlu berlama-lama pulang hampir tengah malam.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here