Memang aneh, kebanyakan luka di dalam hati, kita dapat bukan dari orang asing atau orang yang baru kita kenal, tetapi justru dari orang yang terdekat dengan kita. Perlakuan kasar atau menyakitkan yang kita terima dari orang asing sangat mudah kita lupakan, namun kata-kata yang kelihatannya “hanya biasa” dari orang-orang terdekat ternyata bisa melukai kita selama bertahun-tahun.
Sepertinya hampir semua anak pernah mengalami perlakuan yang berbeda di dalam keluarganya. Saya teringat kalimat yang sering saya terima sejak saya kecil, kakek saya berkata bahwa adik saya yang bungsu adalah pewarisnya, sedangkan mama saya berkata bahwa adik saya yang nomor dua adalah anaknya. Di luar itu, nenek saya berkata bahwa adik saya yang nomor tiga adalah anaknya. Waktu itu di hati kecil saya berkata: “Lalu, saya anak siapa?”
Saya pernah menceritakan hal ini kepada adik saya, dan dia merespon dengan bergurau, “Mungkin kamu memang anak pancingan.” Anak pancingan adalah sebutan bagi seorang anak yang diambil oleh pasangan suami-isteri yang belum memiliki keturunan dengan harapan agar akhirnya mereka bisa memiliki anak kandung sendiri. Walaupun saya sempat merespon ringan dan berkata, “Ngawur aja! Aku anak pertama berarti aku anak yang diharapkan lahir, ya!”, namun sebenarnya tebersit juga kejengkelan bila memikirkan perlakuan yang berbeda yang saya “rasakan”.
Perlakuan yang berbeda terhadap setiap anak dalam keluarga seringkali juga saya temui saat saya menjadi seorang pengajar. Saya sering mendengar pernyataan dari orangtua yang membedakan anak yang satu dengan anak yang lainnya. Bahkan murid-murid saya juga curhat betapa sakit hatinya bila orangtua menyebutkan kakaknya dinilai lebih baik dari dia.
Adil Tak Berarti Sama
Saya pernah menanyakan ke beberapa mama yang memiliki lebih dari satu anak, siapa di antara anak-anaknya tersebut yang paling disayang. Jawaban mereka sangat klise, yaitu semua disayang, walau pada kenyataannya anak-anak itu kebanyakannya mendapat perlakuan yang berbeda-beda secara tak adil.