Mendekati Natal, berita yang saya baca di media online mainstream isinya seragam: saling serang antara para pendukung Jokowi dan Prabowo. Ada yang memakai sindiran halus, ada yang kasar, bahkan sangat kasar. Ada yang disuruh pulang saat kampanye di wilayah ‘musuh’, ada yang dirusak alat peraga kampanyenya. Tanggapannya pun bermacam-macam. Ada yang berkata bahwa itu bagian dari demokrasi. Ada yang baper dan menangis. Ada yang menantang balik, bahkan adu fisik alias duel.
Jangan kaget, berita Natal pertama pun, diwarnai gejolak seperti ini. Banyak gereja memakai tema Natal generik seperti “Damai di surga, damai di bumi.” Benarkah itu yang terjadi pada Natal pertama? Ternyata tidak selalu begitu!
Kitab Suci yang saya baca malah bercerita tentang ratap tangis ibu-ibu karena harus menyaksikan anak-anak mereka dibantai Raja Herodes. Apa pasalnya? Begini kurang lebih cerita di balik peristiwa tragis itu.
Raja Herodes ingin membunuh bayi Yesus, karena takut tahtanya terancam. Tapi, ia tak tahu lokasi tepatnya. Orang Majus yang diharapkan datang memberitahunya ternyata pulang lewat jalan lain karena diperingatkan malaikat.
Karena ambisinya yang besar untuk tetap bertakhta, dia membunuh anak dua tahun ke bawah dengan harapan salah satunya bayi Yesus yang dipercayai akan menjadi seorang raja. Karena merasa terancam, Herodes melakukan berbagai cara, termasuk pembunuhan massal anak di bawah usia dua tahun, yaitu perkiraan usia Yesus seperti yang disampaikan orang-orang Majus.
Bagaimana bisa merasakan damai di bumi jika suasana mencekam seperti itu? Nah, inilah uniknya kisah Natal. Damai bisa dinikmati bahkan di tengah segala macam perbedaan dan bahkan konflik yang ada. Teori saja? Tidak! Saya menemukannya di rumah pasangan suami istri, sahabat saya.
Ketika ‘Cebong’ dan ‘Kampret’ Tinggal Serumah
Mereka berdua sekolah di luar negeri. Setelah lulus mereka sempat bekerja di negara itu selama beberapa tahun. Kemudian mereka memutuskan untuk menikah. Setelah menikah beberapa tahun mereka sepakat untuk kembali ke tanah air.
Suatu kali mereka mengajak saya makan malam bersama. Dari pembicaraan mereka, saya kaget ternyata mereka memiliki pilihan yang berbeda. Sang suami memilih Prabowo. Istrinya Jokowi.
Apa tidak bertengkar? Ternyata tidak! Kok bisa? Inilah 3 hal yang bisa kita pelajari dari keluarga yang tetap harmonis walau pilihan berbeda.
1. Mereka sepakat sejak awal bahwa mereka akan menghormati perbedaan, termasuk pilihan politik
Ketika Sang Istri menceritakan betapa hebatnya infrastruktur yang dibangun selama pemerintahan Jokowi, sang suami mendengarkannya dengan tetap tersenyum. Demikian juga saat sang suami menunjukkan kelebihan Prabowo sebagai mantan petinggi militer yang dianggapnya lebih tegas, sang istri tersenyum simpul. Saya ikut tertawa melihat mereka berdua.